BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam
bahasa hadats berarti sesuatu yang atau berlaku. Menurut istilah syariat islam
hadats ialah keadaan tidak sucinya seseorang sehingga menjadikan tidak sahnya
dalam melakukan suatu ibadah tertentu.
Dari
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hadats ialah suatu keadaan yang
bersifat abstrak pada diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut tidak
dapat melakukan ibadah tertentu. Apalagi jika menyangkut hadats besar,
seseorang yang terkena hadats besar dan ia akan beribadah maka diwajibkan bersuci
dahulu yang melebihi bersuci dari hadats kecil.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa alasan dilarangnya beribadah bagi orang yang berhadats besar menurut para
ulama?
2. Apakah terdapat dalil dan hukumnya?
3. Apa saja ibadah yang dilarang bagi orang
yang berhadats besar?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk mengetahui alasan dilarangnya
beribadah bagi orang yang berhadats besar menurut para ulama.
2. Untuk mengetahui dalil dan hukum
larangan beribadah bagi orang yang
berhadats besar.
3. Untuk mengetahui macam-macam ibadah yang
dilarang bagi orang yang berhadats besa
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadats Besar
Hadats
dibagi menjadi dua yaitu hadats kecil dan hadats besar. Hadats besar itu
sendiri berarti suatu kondisi yang menyebabkannya seseorang harus mandi wajib,
misalkan karena keluar sperma atau setelah melakukan hubungan seksual (junub).[1]
B. Larangan Bagi Orang yang Berhadas Besar
Menurut Para Ulama Beserta Dalil dan Hukumnya
1. Shalat
Menurut para ahli fiqih madzhab, orang
yang berhadats besar dilarang. Keharaman shalat bagi seseorang yang berhadats
besar sebab junub adalah, berdasarkan hadits Nabi Muhammad saw yang
diriwayatkan oleh imam Bukhori-Muslim “Allah
tidak akan menerima shalatnya seseorang yang berhadats sehingga ia berwudhu.”[2]
2. Thawaf
Menurut para ahli fiqih madzhab, orang
yang behadas besar dilarang melakukan thawaf. Keharaman thawaf bagi seseorang yang
berhadats besar sebab junub adalah, berdasarkan :
·
Hadits
Nabi saw yang diriwayatkan oleh imam Muslim “lakukanlah
ibadah kamu sesuai dengan tata cara yang aku dilakukan.”
·
Hadits
Nabi saw yang diriwayatkan oleh imam hakim
“thawaf sama dengan
shalat, hanya saja Allahmemperbolehkan berbicara dalam thawaf, barang siapa yang hendak bicara dalam thawaf maka
ucapkanlah kata-kata yang baik.”
3. Memegang mushaf
Mayoritas ahli fiqih tidak
memperbolehkan orang yang junub menyentuh al-qur’an, baik yang di dalamnya
terdapat nama Allah atau tidak. Hal itu berdasarkan firman Allah Swt :
“Tidak menyentuhnya
melainkan hamba-hamba yang disucikan” (al-waqi,ah : 79)
Dan mereka berpendapat bahwa tidak
dibenarkan menyentuh al-qur,an tanpa wudhu. Tetapi ada pula sebagian yang
membolehkannya, dan kami tidak melihat mereka memilki dalil yang dapat
dipegangi atas pendapat tersebut.[3]
Pendapat berbeda dikemukakan oleh Dawud Az-Zhahiri
dan Ibnu Hazm. Mereka berpendapat bahwa orang yang sedang junub boleh membawa
mushaf. Keduanya beralasan dengan hadis yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari
dan Muslim bahwa Rasulullah mengirim surat kepada Heraklius :
Ibnu
Hazm mengatakan “Rasulullah telah
mengirim surat kepada orang Nasrani yang di dalamnya terdapat ayat al-qur’an,
dan beliau meyakini bahwa mereka mau tidak mau pasti memegang surat berisi ayat
al-Qur’an tersebut”
Menanggapi argumentasi Ibnu Hazm ini,
jumhur ulama mengatakan, tidak ada halangan bagi siapa pun untuk memegang surat
tersebut dan tulisan al-Qur’an yang ada di dalamnya, sebagaimana surat-surat
yang lain, kitab-kitab tafsir, fiqih dan lain sebagainya., sebab semua itu
tidak disebut mushaf, sehingga tidak haram disentuh dan dipegang.[4]
Dan diperbolehkan menyentuh, membawa,
atau mengangkat mushaf (Qur’an) kecuali jika dalam keadaan terpaksa untuk
menjaganya agar jangan rusak, jangan terbakar atau tenggelam. Dalam keadaan
demikian mengambil Qur’an menjadi wajib, untuk menjaga kehormatannya. [5]
4. Membaca al-Qur’an
Menurut Madzhab Maliki, orang yang junub
diharamkan membaca al-Qur’an, kecuali sebentar dengan tujuan untuk membela diri
atau demi memberikan hujan kepada orang lain. Pendapat ini hampir sama dengan
pendapat Madzhab Hanbali.
Menurut Madzhab Hanafi, orang yang junub
tidak boleh membacanya al-Qur’an, kecuali jika dia seorang guru mengaji
al-Qur’an yang mengerjakannya kata demi kata.
Menurut Madzhab Syafi’I orang yang junub
diharamkan membaca al-Qur’an, walaupun satu huruf darinya. Kecuali bila dengan
tujuan untuk dzikir seperti membaca basmallah
ketika hendak mekan dan lain-lain. Dan sekelompok ahli fiqih ahlusunah yang
lain membolehkannya.
Faktor yang menyebabkan mereka saling
berbeda pendapat adalah suatu riwayat dari Ali bin Abi Thalib bahwa beliau
berkat, “sesungguhnya tidak ada
sesuatupun yang menghalanginya (Rasulullah SAW) dari membaca al-Qur’an
melainkan janabah.”
Mereka berpendapat bahwa penghalang
tersebut berasal dari dugaan sang perawi; dari manakah seorang dapat mengetahui
bahwa beliau saw dalam keadaan junub, kecuali jika beliau saw memberitahu
tentang sebab itu. Dengan argumentasi ini, mereka memperbolehkan seorang yang
junub membaca al-Qur’an. Sedangkan bagi mereka melarang seorang yang junub
membaca al-Qur’an.
Sedangkan menurut Mazhab Imamiyah, orang
yang junub tidak diharamkan membaca al-Qur’an kecuali membaca surat al-aza’im[6] yaitu surat al-‘Alaq, al-Najm,
al-Sajadah, dan Fushshilat. Selain dari empat surat diatas boleh dibaca, namun
tetap dimakruhkan bila lebih dari tujuh ayat; ada pula yang mengatakan tujuh
puluh ayat, bahkan hal tersebut sudah termasuk makruh yang muakkad[7].
Hal itu berdasarkan sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Zuararah, bahwa dia bertanya kepada Imam Ja’far al-Shadiq,
“Apakah orang yang junub dan haid dibolehkan untuk membaca al-Qur’an?” beliau
menjawab,
“Ya,
kecuali al-sajaddah, dan hendaklah keduanya senantiasa menyebut Allah dalam
setiap keadaan.”
Maksud dari perkataan Imam Ja’far
al-Shadiq tersebut adalah surat al-aza’im, dimana orang yang mendengar bacaan
ayat tersebut wajib bersujud.
Tetapi makruh jika membaca al-Qur’an
lebih tujuh ayat, dan sangat makruh lagi bila lebih dari tujuh ayat.
Ada
sebuah riwayat yang menyebutkan,
“Mereka
(orang yang dalam keadaan junub, nifas, dan haid) dibolehkan untuk membaca
al-Qur’an sekehendak mereka.”
Dan dalam riwayat lain disebutkan,
“Mereka
dibolehkan untuk membaca tujuh ayat saja.”
Dan dalam riwayat lain lagi,
“Mereka
dibolehkan untuk membaca tujuh puluh ayat saja.”
Para ahli fikih
Imamiyah menggabungkan ketiga riwayat tersebut dan menarik suatu kesimpulan
bahwa bacaan al-Qur’an orang junub yang kurang dari tujuh ayat dibolehkan dan
tidak makruh, tetapi jika lebih dari tujuh ayat, makanmakruh, namun sangat
makruh lagi bila lebih dari tujuh ayat.[8]
Sedangkan menurut Dawud Azh-Zhahiri,
Al-Bukhari, dan Ath-Thabari, orang yang junub boleh membaca al-Qur’an tanpa
batas. Ibnu Abbas juga bisa membaca wiridnya kendati dalam keadaan junub, dan
konon Ibnu Musayyab juga memperbolehkannya.[9]
5. Berdiam diri di Masjid
Semua ulama Madzhab sepakat bahwa bagi
orang junub tidak boleh berdiam di masjid, hanya mereka mereka berpendapat
tentang boleh tidaknya kalau ia lewat di dalamnya, sabagaimana kalau ia masuk
dari satu pintu ke pintu lainnya.
Maliki dan Hanafi berpendapat tidak
boleh kecuali karena sangat darurat (penting). Syafi’I dan Hanafi berpendapat
boleh kalau hanya lewat saja, asal jangan berdiam. Imamiyah berpendapat tidak boleh
berdiam dan melewati kalau di Masjidil Haram dsn Masjid Nabawi, tetapi kalau
selain dua masjid tersebut boleh melewatinya, tetapi kalau berdiam tidak boleh
di masjid mana saja.[10]
Merujuk pada hadis narasi Aisyah :
Rasulullah datang sementara pintu-pintu rumah beberapa sahabatnya rumah
beberapa sahabatnya yang menjorok kedalam masjid, maka beliau pun bersabda, “Palingkan pintu-pintu rumah ini dari
masjid.” Namun rukhsah[11]
yang turun mengenainya. Nabi pun keluar menemui mereka dan bersabda, “Palingkan pintu-pintu rumah ini dari
masjid, sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid untuk orang haid maupun
junub.”
Hadis diatas menunjukkan bahwa orang
yang dalam keadaan junub dan wanita yang haid tidak boleh berdiam diri di dalam
masjid, tetapi kalau hanya sekedar lewat maka diperbolehkan sebagai bentuk
keringanan. Merujuk pada firman Allah :
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri
masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja,
sehingga kamu mandi.” (QS. An-Nisa’ (4):43)
Juga
berdasarkan penuturan Jabir : “Salah
seorang kami lewat mwlintasi masjid dalam keadaan junub.” Diriwayatkan Zaid
Ibnu Aslam, ia berkata “Para sahabat
Rasulullah biasa berjalan di dalam masjid ketika mereka junub.”[12]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mayoritas ulama madzhab
sepakat, bahwa orang yang junub
diharamkan untuk melakukan lima hal tersebut. Namun ada sebagian dari ulama
madzhab Maliki yang menyatakan, bahwa orang junub
itu diperbolehkan untuk membaca ayat-ayat al-Qur’an yang sudah terbiasa
diucapkan dalam kesehariannya, seperti ayat kursi, surat al-Ikhlas, surat
al-Mu’awwidzatain (al-Falaq dan an-Nas), untuk mengobati orang sakit atau
dijadikan sebagai dalil. Dan kalangan ulama Hambali juga ada yang berpendapat,
bahwa orang yang junub boleh berdiam
di masjid dengan syarat harus wudlu dahulu, alasannya karena salah satu sahabat
Nabi saw yang dalam keadaan junub
berwudlu kemudian berdiam diri di masjid. Dan diperkuat dengan alasan yang
lain, yaitu junub adalah hadats besar, maka dengan
melakukan wudlu, kadar besarnya hadats berkurang.
DAFTAR
PUSTAKA
Ulfah, Isnatin. Fiqih Ibadah: Menurut
al-Qur’an, Sunnah, dan Tinjauan Berbagai Madzab. Ponorogo : STAIN PO Press, 2009.
Rasjid,
Sulaiman. FIQIH ISLAM. Bandung :
Sinar Baru Algensindo, 2016.
Mannan,
Abdul. FIQIH LINTAS MADZHAB Juz 1
Jawad
Mughniyah, Muhammad. FIQIH LIMA MAZHAB . Penerbit
: Lentera, 2015.
Ibrahim
Jannati, Muhammad. FIQIH PERBANDINGAN
LIMA MAZHAB. Jakarta : Cahaya, 2007
Aziz,
Abdul, dkk. FIQIH IBADAH . Jakarta :
Amzah, 2009
[1]
Isnatin Ulfah, Fiqih Ibadah: Menurut
al-Qur’an, Sunnah, dan Tinjauan Berbagai Madzab. (Ponorogo: STAIN PO Press,
2009),15-16
[3]
Muhammad Ibrahim Jannati, FIQIH PERBANDINGAN
MADZHAB LIMA MADZHAB (Jakarta : CAHAYA, 2007)hlm.239
[4]
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, FIQIH IBADAH (Jakarta : Amzah, 2009)hlm. 85
[5]
H. Sulaiman Rasjid, FIQIH ISLAM
(Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2016)halm.47
[6]Surat
al-aza’im : surat yang didalamnya terdapat kewajiban untuk sujud tilawah.
[7]
Muakkad : yang amat ditekankan.
[8]
Ibid.,240-242
[9]
Ibid.,86
[10]
Muhammad Jawad Mughniyah, FIQIH LIMA
MAZHAB (Penerbit Lentera, 2015)hlm.61-62
[11]
Rukhsah : keringanan
[12]
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, FIQIH IBADAH (Jakarta : Amzah, 2009)hlm. 87-88
Tidak ada komentar:
Posting Komentar