BAB I
PENDAHULUAN
Sholat merupakan tiang agama sebagai
media komunikasi terbaik antara hamba
dengan penciptanya dan pembeda hakiki antara mukmin dan kafir. Sholat merupakan
rukun islam yang dimintai pertanggungjawaban pertama kali ketika seorang hamba
menghadap tuhannya.
Perlu diketahui bahwa hukum shalat
adalah fardhu’ain bagi setiap muslim, agar seorang muslim dapat melaksanakan
shalat dengan sempurna dan benar. Adapun jika berkurang atau hilang salah satu
syarat sah dan rukunnya, maka shalatnya di anggap tidak mengikuti syariat yang
berlaku, sama saja “engkau menyia-yiakan Allah seperti engkau menyia-nyiakan ku
(Sholat)”.
Demikianlah, betapa penting makna Sholat
dalam kehidupan seorang muslim. Seharusnya setiap dari kita bersungguh- sungguh
belajar dan mendalami ilmunya. Maka saya membuat makalah ini untuk membahas syarat
shalat dilengkapi pendapat para ulama serta dalil yang menjadi dasar
pendapatnya.
1. Apa syarat shalat menurut para ulama dan
dasar hukum ?
2. Bagaimana syarat sah menutup aurat menurut
para ulama dan dasar hukum?
3. Bagaimana syarat sah menghadap kiblat
menurut para ulama dan dasar hukum?
1. Dapat memahami dengan baik syarat shalat.
2. Dapat melaksanakan syarat shalat dengan
sempurna dan benar.
3. Memjadikan pedoman untuk beribadah .
BAB II
PEMBAHASAN
Secara bahasa syarat berarti tanda
(al-‘alamah) sedangkan secara istilah syarat berarti sesuatu yang menjadi kunci
adanya sesuatu, tetapi ia berada di luar dari sesuatu tersebut. Terkait dengan
shalat ada dua macam syarat; syarat wajib dan syarat sah.
Syarat wajib shalat
adalah suau kondisi seseorang sehingga seseorang itu berkewajiban melaksanakan
shalat. Al-Zuhayli menyebutkan empat syarat dimana seseorang melaksanakan
berkewajiban melaksanakan shalat yaitu:
1. Beragama islam,
2. Sudah dewasa,
3. Berakal sehat,
4. Suci dari haid dan nifas.
Ulama
sepakat bahwa shalat hanya
diwajibkan kepada orang yang beragama islam baik laki-laki maupun perempuan.
Sehingga orang kafir tidak berkewajiban untuk melaksanakan shalat, tetapi besok
diakhirat tetap dimintai pertanggungjawaban, karena semasa didunia ia punya
kesempatan melaksanakan shalat setelah memeluk islam terlebih dahulu. Hal
tersebut berdasarkan (QS. Al-Mudatstsir: 42-43).
Anak-anak dan orang yang hilang akalnya
karena gila atau sakit, tidak berkewajiban melaksankan shalat. Berdasarkan
sabda Nabi saw dari Aisyah ra:
“ Diangkat qolam dari tiga orang;
orang tidur sampai terjaga, dari anak kecil hingga dewasa dan dari orang gila
hingga ia sadarkan diri.” (HR ahmad, Ashab al-Sunan dan hakim).
Demikian juga dengan wanita yang sedang
haid ataupun nifas tidak berkewajiban melaksanakan shalat, bahkan tidak sah
shalat. Hal tersebut sesuai dengan hadist yang bersumber dari Aisyah:
“ kami sedang haid pada masa Rasulullah
saw, kemudian (setelah berhenti) kami bersuci, lalu kami diperintahkan untuk
mengqodho (mengganti) puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengganti shalat.”
[1]
Syarat sah shalat
adalah suatu kondisi atau keadaan dimana shalat seseorang dianggap sah jika ia
melakukan syarat tersebut.
Seseorang baru dianggap sah shalatnya
jika ia mengetahui bahwa:
1. waktu shalatnya telah tiba,
2. suci dari dua hadast,
3. suci badan, pakaian dan tempat shalat
dari najis,
4. menutup aurat,
5. menghadap kiblat.[2]
Dalil yang
menyebutkan :
1) Suci dari dua hadast

“Allah tidak
menerima salat seseorang diantara kamu apabila ia berhadas hingga ia
berwudhu”(HR Bukhari dan Muslim).

“jika kamu
junub, maka madilah” (Al-Maidah: 6)
2) Suci badan, pakaian dan tempat shalat
dari najis

“dan
bersihkanlah pakaianmu”(Al-Muddasir: 4)

Ketika orang Arab Badui
kencing di dalam masjid, Rasulullah berkata: “Tuangi olehmu kencing itu dengan
setimba air” (HR Bukhari dan Muslim)[3]
Hal-hal ini harus dipenuhi semuanya sebelum
melaksanakan shalat, ini dinamakan syarat.[4]
Shalat secara etimologi adalah doa,
sedangkan menurut terminologi adalah beberapa ucapan dan gerakan yang dimulai
dengan niat dan diakhiri dengan salam, dengan syarat dan rukun tertentu menurut
mazhab yang di sepakati.
Firman Allah SWT :

Artinya: “dan dirikanlah
shalat” QS: Al-Baqorah: 43
Makna yang tersirat dari ayat
tersebut : jagalah shalat dengan cara melakukan syarat, rukun, sunnah dan
menghindari hal-hal yang membatalkannya.[5]
Orang yang senantiasa mendirikan
shalat adalah orang yang selalu membersihkan diri dari najis-najis dalam jiwanya
dengan terus-menerus bertobat sehingga rohaninya suci dan memudahkannya bertaqwa
kepada Allah. Demikian pula dengan jasmaninya yang setiap waktu tertentu dibersihkan
dengan berwudhu,mandi dan pakaian, tempat-tempat harus bersih dari kotoran dan
najis.[6]
Karena itu, bagi orang yang mendirikan shalat
dengan memperhatikan kebersihan jiwa dan raganya, dihari kiamat nanti ia akan
bertemu dengan Allah SWT dengan muka yang bersinar dan senyum yang
berseri-seri. Dalam surat Al-Mu’minun ayat 1-2

Artinya: “sungguh beruntung
orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyuk dalam shalatnya.”[7]
Seseorang yang melakukan shalat hukumnya
sah apabila menutup semua auratnya.[8]Aurat
ditutup dengan sesuatu yang dapat menghalangi terlihatnya warna kulit.
Firman Allah SWT:

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di
setiap (memasuki) masjid”(Al-Araf: 31).
Dimaksud dengan “pakaian” dalam
ayat ini ialah pakaian yang menutupi aurat untuk shalat. [9]
Para ulama mazhab sepakat bahwa
tujuan menutup aurat adalah untuk menghalangi terlihatnya warna (kulit) bukan
bentuk (badan), jika kain penutup itu sama dengan warna kulit sehingga tidak
bisa membedakan antara yang asli dan bukan, seperti pembalut daging, maka ada
atau tidaknya penutup akan sama saja terlihat auratnya.[10]
Adapun batas-batas aurat yang wajib
ditutup bagi laki-laki ialah antara pusar sampai lutut. Itu adalah pakaian yang
penutup minimalis apabila tidak memiliki pakaian sedangkan aurat bagi perempuan
ialah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya[11].
Semua ulama mazhab sepakat bahwa
setiap laki-laki maupun wanita wajib menutupi sebagian badannya ketika shalat.
Sebagaimana yang diwajibkannya untuk menutupi bagian anggota badannya dihadapan
orang lain (bukan mahramnya) diluar shalat. Mereka hanya berbeda pendapat bila
lebih dari itu wanita diwajibkan menutupi wajah dan dua telapak tangannya atau
hanya sebagian dari keduanya ketika shalat, padahal bagi sebagian wanita itu
tidak diwajibkan untuk menutupi diluar shalat ? dan apakah laki-laki wajib
menutupi selain pusar atau lutut ketika shlata, padahal ketika diluar shlat ia
tidak wajib menutupinya?
Hanafi: Bagi
wanita wajib menutupi belakang dua telapak tangan dan dua telapak
kakinya,sedangkan bagi laki-laki wajib menutupi dari lutut ke atas sampai pada
pusar.
Syafi’I
dan maliki: Bagi wanita boleh membuka wajahnya dan dua telapak tangannya
(dalam maupun luar) ketika shalat.
Hambali: Tidak
boleh dibuka kecuali wajahnya saja.
Imamiyah:
Bagi setiap orang laki-laki dan perempuan wajib menutupi anggota badannya
ketika shalat sebagaimannya yang di wajibkan untuk menutupinya diluar shalat
kalau ada orang lain (bukan mahramnya) yang melihatnya. Sedangkan bagi
perempuan boleh membuka wajahnya ketika shalat dengan ukuran yang dicuci dalam
wudlu. Boleh membuka dua telapak tangannya sampai pergelangan dari kedua
kakinya sampai kedua betisnya, sedangkan bagi laki-laki wajib menutupi
kemaluannya dan paling utama adalah antara pusar sampai lutut.
Syarat-syarat
penutup dalam shalat
1. Sucinya kain penutup dan badan menurut
kesepakatan semua ulama Mazhab, hanya setiap mazhab telah mengecualikan
beberapa hal yang dimaafkan (dibolehkan) ketika shalat, sebagimana yang
dijelaskan dibawah ini:
Imamiyah:
Dimaafkan darah yang keluar dari luka, bisul dan semacamnya, baik banyak maupun
sedikit, dipakaian maupun dibadan. [12]
Kalau
menghilangkannya sulit atau susah dengan syarat darah itu harus menyatu
(berkumpul) bukan berceceran dan bukan dari darah (haid, nifas, binatang yang
najis). Setiap najis yang mengenai pakaian atau badan bila dalam keadaan
darurat, maka najis itu dimaafkan.
Maliki:
Dimaafkan dari kecing yang terus-menerus tidak bisa dtahan dan juga yang selalu
buang air besar (tidak bisa ditahan-tahan) dan basah karean terkena penyakit
wasir; kotoran yang pada saat itu terkena pakaian dengan syarat tidak lebih
dari bundaran dirham.
Hanafi: Dimaafkan
dari najis kalau hanya sebesar bundaran dirham baik dari darah, kencing,
kotoran dalam keadaan darurat serta percikan kencing jika hanya sedikit dan
seterusnya berupa najis-najis ringan.
Syafi’i: Dimaafkan
dari setiap najis kalau sedikit yang tidak kelihatan dan dari lumpur jalan yang
tercampur dengan najis ringan dan dari cairan-cairan.
Hambali: Dimaafkan
dari darah dan nanah yang sedikit dan dari lumpur jalan yang tidak jelas
najisnya terkena pakaian.
2. Semua ulama mazhab sepakat
bahwa memakai sutra dan emas adalah diharamkan bagi laki-laki ketika shalat dan
diluar shalat, tetapi bagi wanita boleh, berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
“diharamkan
memakai sutra dan emas bagi laki-laki yang menjadi umatku dan dihalalkan bagi
wanita-wanita mereka”
Syafi’I
berpendapat seorang laki-laki shalat dengan memakai sutra, maka ia telah
melakukan sesuatu yang diharamkan, hanya shalatanya tetap sah.
Hanafi, Hambali
sependapat dengan Syafi’I karena larangan untuk memakai sutra dan emas
itu tidak berlaku dalam shlat dan tidak perlu diulang.
3. Kain penutup yang dihalalkan, menurut Imamiyah:
Mensyaratkan bahwa kain penutup aurat adalah dengan barang yang dihalalkan.
Maka kalau ada seseorang yang shalat dengan pakaian (penutup) Ghashab dan ia mengetahui
bahwa pakaiannya ghashab batallah shalatnya. Salah satu riwayat Ibn Hanbal juga
berpendapat sama.[13]
Mazhab-mazhab
yang lain : tetap sah shalat kalau memakai
pakaian yang ghasab, Karena larangan itu tidak berlaku dalam shalat yang dapat
mencegah sahnya shalat.
4. Kulit binatang yang tidak boleh dimakan
dagingnya
Hanya imamiyah
saja yang menyatakan bahwa shalat seseorang tidak sah bila ia shalat pada kulit
yang dagingnya tidak boleh dimakan sekalipun dimasak, baik bulunya, ekornya
maupun rambutnya dan juga sesuatu yang keluar dari binatang tersebut. Seperti
air liur yang masih basah.
Hanbali:
ia harus shalat dengan pakaian yang najis itu, tetapi ia wajib mengulanginya
lagi. Sebaliknya dengan Maliki dan kebanyakan dari imamiyah: ia
harus shalat dengan pakaian yang najis itu, tetapi ia tidak wajib mengulanginya
lagi. Hanafi dan syafi’i: ia harus shalat dengan telanjang bulat dan ia
tidak boleh memakai pakaian yang terkena najis untuk shalat.[14]
Secara bahasa kiblat berasal dari kata
qiblah yang berarti arah, sedangkan secara istilah kiblat merupakan arah bagi
setiap muslim dalam melakukan ibadah shalat. Para ulama sepakat bahwa menghadap
kiblat adalah syarat sahnya shalat, kecuali shalat Khawf, shalat sunnah di atas
kendaraan atau perahu.
Namun yang menjadi pedebatan para ulama adalah
apakah didalam menghadap kiblat itu harus persis ke benda ka’bah atau hanya
cukup dengan menghadap kea rah dimana ka’bah berada.[15]
Tendensinya adalah firman Allah SWT dalam surat
Al-Baqoroh ayat :144

Artinya: “Dan dari mana saja keluar, maka
palingkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram (ka’bah). Dan dimana saja kamu
berada (keadaan shalat) maka hadapkanlah wajahmu kearahnya Masjidil Haram
(ka’bah).”[16]
Semua ulama mazhab sepakat
bahwa ka’bah adalah kiblat bagi orang yang dekat dan dapat melihatnya. Tetapi
mereka berbeda pendapat tentang Kiblat bagi orang yang jauh dan tidak dapat
melihatnya.
Hanafi, Hanbali, Maliki, dan
sebagian kelompok Imamiyah berpendapat bahwa kiblatnya orang yang jauh
adalah arah dimana letaknya Ka’bah berada, bukan Ka’bah itu sendiri.
Syafi’I dan
sebagian kelompok Imamiyah berpendapat bahwa wajib menghadap Ka’bah itu
sendiri, baik orang yang dekat maupun orang yang jauh. Kalau dapat mengetahui
arah Ka’bah secara pasti (tepat).
Dibolehkan tidak menghadap kiblat
pada beberapa keadaan tertentu
1.
Ketika
sangat takut sehingga tak dapat menghadap kiblat, umpamanya dalam peperangan.
Seorang prajurit salat dalam waktu peperangan.
2.
Orang
dalam perjalanan diatas kendaraan, apabila melakukan salat sunat diatas
kendaraan boleh menghadap kearah tujuan perjalanannya, walaupun demikian
diwajibkan menghadap kiblat sewaktu takbiratul ihram.
3.
Orang
yang tidak mengetahui kiblat[17]
Menurut empat mazhab
dan sekelompok Imamiyah: Ia shalat kemana saja yang
disukainya dan sah shalatnya. Tetapi tidak wajib baginya untuk mengulanginya
lagi. Menurut Syafi’I dan Sebagian besar Imamiyah berpendapat
bahwa, ia harus shalat ke empat arah sebagai rasa patuh dalam melaksanakan
perintah shalat. Tapi bila waktunya sudah sempit untuk mengulang-ulang sampai
empat kali atau tidak mampu untuk mendirikan shalat ke empat arah maka cukup
shalat pada sebagian arah yang ia mampu saja.
Sedangkan
Hanafi dan Hanbali berpendapat kalau ia berusaha dan ber-ijtihad
untuk mencari arah kiblat, tetapi tidak ada satu arah pun dari beberapa arah
yang lebih kuat sebagai patokan arah kiblat, maka ia boleh shalat menghadap
kemana saja, bila nanti merasa salah, maka ia masih dipertengahan. Harus
berubah kearah yang diyakininya dan bila ia mengetahui salah saat setelah
shalat, sah shalatanya dan tidak mengulanginya. Tetapi menurut Maliki orang
yang tidak mau berusaha dan tidak mau ber-ijtihad, kemudian nampak bahwa ia
telah shalat kea rah kiblat dan benar, maka shalatnya batal.
Menurut
Syafi’I jika ia tahu bahwa arahnya salah dengan cara yang menyakinkan ,
maka ia wajib mengulangnya lagi. Tapi bila hanya mengetahui dengan cara perkiraan
saja maka sah shalatnya tidak ada bedanya, baik ketika shalat maupun sesudah
shalat. [18]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Secara bahasa syarat berarti tanda
(al-‘alamah) sedangkan secara istilah syarat berarti sesuatu yang menjadi
ketentuan adanya sesuatu. Syarat wajib shalat adalah suau kondisi
seseorang sehingga seseorang itu berkewajiban melaksanakan shalat, yang harus
kita ketahui empat syarat dimana seseorang melaksanakan berkewajiban
melaksanakan shalat yaitu: beragama islam, sudah dewasa, berakal sehat, suci
dari haid dan nifas. Syarat sah shalat adalah suatu kondisi atau keadaan
dimana shalat seseorang dianggap sah jika ia melakukan syarat tersebut. Seseorang
dianggap sah shalatnya jika ia mengetahui bahwa: waktu shalatnya telah tiba,
suci dari dua hadast, suci badan, pakaian dan tempat shalat dari najis, menutup
aurat, menghadap kiblat.
2. Menurut Para ulama mazhab sepakat bahwa
menutup aurat adalah untuk menghalangi terlihatnya warna (kulit) bukan bentuk
(badan). Adapun batas-batas aurat yang wajib ditutup bagi laki-laki ialah
antara pusar sampai lutut, perempuan ialah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan
kedua telapak tangannya.
3. Secara bahasa kiblat berasal dari kata
qiblah yang berarti arah, sedangkan secara istilah kiblat merupakan arah bagi
setiap muslim dalam melakukan ibadah shalat. Para ulama sepakat bahwa menghadap
kiblat adalah syarat sahnya shalat. Semua ulama mazhab sepakat bahwa
ka’bah adalah kiblat bagi orang yang dekat dan dapat melihatnya. Tetapi mereka
berbeda pendapat tentang Kiblat bagi orang yang jauh dan tidak dapat
melihatnya. Hanafi, Hanbali, Maliki, dan sebagian kelompok Imamiyah
berpendapat bahwa kiblatnya orang yang jauh adalah arah dimana letaknya Ka’bah
berada, bukan Ka’bah itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Ulfah,
Isnatin. Fiqih Ibadah: Menurut al-Quran, sunnah, dan Tinjauan
Berbagai Madzab. Ponorogo: STAIN PO Press. 2009.
Rasjid,
Sulaiman. Fiqh Islam: Hukum Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru
Algensindo. 2016.
Mughniyah,
Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera. 2011.
Ridwan,
Hasan. Fiqih Ibadah. Bandung: Pustaka Setia.2009.
Djazuli,
Zainuddin. Fiqih Lintas Madzhab. Kediri: PP. Al falah Ploso. 2011.
[1] Isnatin Ulfah, Fiqih Ibadah: Menurut al-Quran, sunnah,
dan Tinjauan Berbagai Madzab. (Ponorogo: STAIN PO Press, 2009), 60-62
[8]
Zainuddin Djazuli, Fiqih Lintas Madzhab, 90
[9] Sulaiman
Rasjid, Fiqh Islam: Hukum Fiqh Islam, 69
[10]
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, 104-109
[11]
Isnatin Ulfah, Fiqih Ibadah: Menurut al-Quran, sunnah, dan Tinjauan
Berbagai Madzab, 63-64
[12]
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, 112-116
[13]
Ibid.,
[17]
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam: Hukum Fiqh Islam, 73-74
Tidak ada komentar:
Posting Komentar