Kamis, 25 Januari 2018

tata cara berhaji

BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Haji merupakan rukun Islam yang kelima yang diwajibkan bagi seorang muslim sekali sepanjang hidupnya bagi yang mampu melaksanakannya. Ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum muslim sedunia dengan berkunjung dan melaksanakan beberapa tempat di Arab Saudi pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji (bulan Dzulhijjah). Hal ini berbeda dengan umroh yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu.
Ibadah haji adalah sebagai tindak lanjut dalam pembentukan sikap mental dan akhlak yang mulia. Ibadah haji merupakan pernyataan umat Islam seluruh dunia menjadi umat yang satu karena memiliki persamaan atau satu akidah. Memperkuat fisik dan mental karena ibadah haji merupakan ibadah yang berat memerlukan persiapan fisik yang kuat, biaya besar dan memerlukan kesabaran serta ketabahan dalam menghadapi segala godaan dan rintangan. Ibadah haji juga menumbuhkan semangat berkorban, baik harta, benda, jiwa besar dan pemurah, tenaga serta waktu untuk melakukannya.

B.       RUMUSAN MASALAH
1.         Apa pengertian haji?
2.         Apa saja macam-macam haji?
3.         Sebutkan syarat, wajib, rukun haji!








BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Haji
Haji, (al-hajj) dalam bahasa Arab berarti al-qashd, yaitu menyengaja atau niat (al-niyyat). Al-Ragib al-Asfahani, dalam Mu’jam Mufradat Alfad al-Qur’an, mengemukakan bahwa asal makna haji ialah sengaja berziarah (al-qasd li al-ziyarah). Adapun makna haji dalam terminology syara’ adalah berkunjung atau berziarah ke tempat-tempat tertentu (di kota Makkah al-Mukarramah) dalam rangka bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah.[1]
Haji juga diartikan dengan berkunjung(berziarah) ke Bait Allah(Ka’bah) yang terletak di dalam Masjidil Haram dengan berpakaian ihram untuk melaksanakan tawaf, sa’I, wukuf di Padang Arafah, mabit di Muzdalifah, bermalam di Mina, melontar tiga jumrah, dan tawaf ifadhah dengan niat ikhlas karena Allah semata.[2]
Dalam ibadah haji baru di syari’atkan pada tahun keenam Hijriah menurut pendapat jumhur ulama, setelah disyariatkannya rukun Islam dan ibadah-ibadah lain. Diakhirkankannya pensyari’atan ibadah haji disbanding ibadah-ibadah lain, seperti shalat, puasa, dan zakat, tidak berarti ibadah haji tidak memiliki posisi penting dalam Islam. Demikian pula halnya dengan penempatan haji sebagai rukun Islam ke lima atau yang paling akhir.
Penempatan ibadah haji sebagai rukun Islam ke lima, tampaknya karena ibadah haji merupakan ibadah yang paling berat, memerlukan biaya yang mahal, waktu yang cukup lama, dan kesiapan fisik-material serta mental-spiritual yang harus benar-benar baik. Namun demikian, ibadah haji memiliki posisi penting dan sentral dalam syari’at Islam. Diantara indikasinya adalah bahwa satu-satunya rukun Islam yang dijadikan nama surat dalam al-Qur’an dari 114 surat yang ada dalam al-Qur’an terdapat surat al-Hajj.[3]

B.       Macam-macam Haji
Dari segi hukumnya, haji terbagi dua, wajib dan sunnah. seperti telah dikemukakan pada bagian lalu, pada dasarnya haji hanya diwajibkan sekali seumur hidup atas orang yang mampu melakukannya, dan ini disebut juga dengan haji Islam, karena merupakan salah satu rukun Islam. Akan tetapi, seseorang dapat pula mewajibkan pelaksanaan haji itu atas dirinya melalui nazzar. Haji sunnah adalah haji yang dilakukan sebagai tambahan setelah lebih dahulu menunaikan haji wajib. Rasulullah SAW dalam beberapa haditsnya menyampaikan anjuran agar umatnya melaksanakan haji, termasuk haji sunnah dan menjanjikan pahala yang besar serta pengampunan dosa bagi mereka yang melaksanakannya.
Menurut cara pelaksanaannya, haji itu ada tiga macam, yaitu Ifrad, Tamattu’, dan Qiran. Ketiga macam haji tersebut diterangkan dalam berbagai riwayat tentang haji Rasulullah SAW. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat mengenai cara yang terbaik dalam pelaksanaan haji. Ahmad berpendapat bahwa tamattu’ lebih baik, tetapi Malik dan Imam al-Syafi’I mengatakan bahwa ifrad yang lebih baik.
Adapun pelaksanaan haji dengan cara ifrad itu ialah dengan melakukan haji, secara terpisah, lebih dahulu daripada umrah. Setelah semua pekerjaan haji selesai dilaksanakan seluruhnya, barulah umrah dilakukan dengan Ihram kembali dan dilanjutkan dengan pekerjaan-pekerjaan umrah lainnya.
Cara tamattu’ dilakukan sebaliknya dari ifrad yaitu mendahulukan umrah secara terpisah. Jadi, mula-mula ihram dilakukan untuk umrah saja, kemudian dilanjutkan dengan pekerjaan-pekerjaan umrah lainnya. Setelah umrah selesai baru dilakukan ihram untuk haji.
Allah SWT berfirman:
Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. (al-Baqarah/2: 196).

Berdasarkan ayat ini, orang yang melakukan haji dengan tamattu’ dapat dikenakan kewajiban membayar dam, bila terpenuhi syarat-syarat berikut:
1.    Ia melakukan ihram untuk umrahnya pada bulan-bulan haji.
2.    Ia melakukan haji pada tahun yang sama dengan waktu melakukan ihram tersebut. Jika hajinya dilakukanan pada tahun yang lain, maka ia tidak dikenakan dam.
3.    Tidak kembali ke miqat-nya untuk melakukan ihram haji. Bila ia melakukan ihram haji itu dari miqat-nya, ia tidak wajib membayar dam, sebab kewajiban dam itu adalah karena tidak ihram dari miqat.
4.    Ia bukan penduduk (hadiri) Makkah dan sekitarnya, sebab penduduk Makkah, walaupun melakukan haji dengan tamattu’ tidak dikenakan dam.
Qiran artinya melakukan ihram dengan niat untuk haji dan umrah sekaligus, atau mula-mula melakukan ihram untuk umrah saja, pada bulan-bulan musim haji, kemudian sebelum thawaf memasukkan pelaksanaan haji ke dalamnya sebagaimana disebutkan dalam hadits Aisyah ra. Yang melakukan haji dengan cara ini juga diwajibkan membayar dam, seperti halnya atas orang yang melakukan tamattu’.[4]

C.       Syarat, wajib dan rukun haji
1)   Syarat-syarat wajib haji
a.    Islam.
b.    Berakal (tidak wajib atas orang gila dan orang bodoh).
c.    Balig (sampai umur 15 tahun, atau balig dengan tanda-tanda lain, tidak wajib haji atas kanak-kanak).
d.   Kuasa (tidak wajib haji atas orang yang tidak mampu).[5]
Para ulama menafsirkan kemampuan (istitha’ah) itu dengan:
a)    Kemampuan fisik untuk perjalanan menuju Makkah dan mengerjakan kewajiban-kewajiban haji. Orang yang lumpuh atau telah terlalu tua sehingga tidak sanggup mengerjakan haji, wajib mengupah orang lain melakukan ibadah haji atas namanya, bila ia mempunyai harta. Jika ia tidak mempunyai harta, tetapi mempunyai anak yang patuh dan mampu melakukan haji untuknya, ia wajib memerintahkan anak itu melakukannya. Dengan haji yang dilakukan oleh anaknya, sebagai ganti dirinya itu, ia terlepas dari kewajibannya.
b)   Perjalanan yang aman ketika pergi dan pulang, tehadap jiwa dan harta seseorang.
c)    Memiliki cukup harta untuk keperluan makanan dan kendaraan untuk  dirinya sendiri selama perjalanan sampai kembali pulang, maupun untuk keluarga ditinggalkan.[6]
Tak ada seorang pun dari para ulama mazhab yang berbeda, kecuali Maliki.
Maliki: Barang siapa yang mampu berjalan, maka dia wajib haji, sebagaimana diwajibkan untuk memberikan nafkah kepada sanak saudaranya dan keluarganya, tidak terkecuali. Dia wajib menjual apa saja yang dibutuhkan untuk haji, baik berupa alat-alat mata pencahariannya dari bumi, binatang ternak maupun alat-alat lainnya bahkan sampai pada buku-buku dan hiasan-hiasan yang dipakainya.
kalau ada seseorang yang tidak diwajibkan haji karena tidak mampu, tetapi dia kemudian berusaha dengan sekuat tenaga dan bersusah payah, lalu haji dan kemudian dia mempunyai kemampuan setelah naik haji, apakah dia wajib mengulang lagi atau yang pertama itu sudah cukup untuk dianggapnya telah melaksanakan kewajiban?
Maliki dan Hanafi: Dia akan diberi pahala, dan tidak wajib melakukan haji lagi sekalipun dia telah mampu.
Hanbali: Brang siapa yang meninggalkan hak, maka dia harus menunaikannya, seperti hak untuk membayar hutang. Dan kalau dia naik haji, maka dia diberi pahala sesuai dengan kewajiban melaksanakan haji.
Imamiyah: Kalau dia mampu setelah itu, maka hajinya tidak diberi pahala dan tidak dianggap telah melaksanakan fardhu (kewajiban) haji. Karena segala sesuatu yang disyaratkan berputar berlaku sesuai dengan putaran syarat, baik ada maupun tidak. Dan sebelum mampu, dia tidak diwajibkan dan dia hanya disunnahkan untuk melaksanakan haji. Setelah ada kemampuan dan dia telah mempunyai haji, maka dia wajib mengulangi haji lagi.
Segera
Imamiyah, Maliki dan Hanbali: kewajiban melaksanakan haji itu harus segera, dan tidak boleh mengakhirkannya kalau mungkin dilakukan sebelumnya. Maka bila ada seseorang yang mampu melakukannya lebih awal, lalu mengakhirkannya, berarti dia telah berbuat maksiat (dosa), namun hajinya tetap sah. Bila ia melaksanakannya setelah itu, ia tetap dianggap telah melaksanakan haji.
Pengarang buku Al-Jawahir menjelaskan:
Yang dimaksud dengan segera adalah melaksanakan kewajiban haji secepat mungkin, yaitu pada awal tahun ketika dia mampu. Kalau tidak, maka ia wajib mengerjakan setelah itu (tahun berikutnya). Begitulah seterusnya, maka tidak diragukan lagi bahwa orang yang mengakhirkan haji adalah dosa atau durhaka, kalau dia memungkinkan melaksanakan pada awal waktu tanpa menanti rombongan lain.
Syafi’i: Kewajiban melaksanakan haji itu bisa dilakukan secara terlambat bukan dengan segera. Haji boleh diakhirkan sesuai dengan waktu yang dikehendaki.
Abu Yusuf: Ia wajib dilaksanakan dengan cara.
Muhammad bin Hasan: Haji boleh ditangguhkan.
Abu Hanifah: Tidak ada nash dalam hal ini. Tetapi menurut sebagian sahabatnya: Haii harus dilaksanakan dengan segera karena perintah haji menunjukkan kesegeraan.[7]
2)        Wajib haji
a.    Ihram dari Miqat. Miqat ini mencakup miqat zamani (waktu) dan miqat makani (tempat).
Untuk haji, miqat waktu adalah bulan Syawwal, Dzulqa’dah dan sepuluh malam hari bulan Dzulhijjah. Kalau umrah adalah satu tahun penuh.
Miqat tempat bagi haji bagi orang yang tinggal di Makkah adalah Makkah itu sendiri, baik dia orang asli Makkah atau orang manca negara. Bagi orang yang tidak tinggal di Makkah, maka miqat tempat untuk haji adalah sebagai berikut:
a)    Orang yang haji dari Madinah : Miqatnya Dzulhulaifah.
b)   Orang yang haji dari Syam, Mesir dan Maghribi : Miqatnya Juhfah
c)    Orang yang haji dari Yaman: Miqatnya Yulamlam.
d)   Orang yang haji dari Nejed Hijaz dan Nejed Yaman: Qarn.
e)    Orang yang haji dari timur: Miqatnya Dzat Irq.
b.    Melempar tiga jumrah. Pertama jumrah Kubra, lalu Wustha, lalu jumrah Aqabah.
Masing-masing jumrah membutuhkan tujuh buah kerikil. Lemparlah jumrah dengan kerikil satu-satu. Jika melemparkan dua kerikil sekaligus, maka lemparan itu hnya dihitung satu lemparan. Jika yang dilemparkan hanya satu kerikil dan dilemparkan tujuh kali, maka sah lemparannya. Disyari’atkan, benda yang dilemparkan haruslah batu. Kalau yang dilemparkan bukan batu, seperti mutiara dan batu kapur, maka tidak sah.
c.    Mencukur atau menggunting rambut.
Yang paling baik bagi lelaki adalah mencukur dan bagi wanita aadalah menggunting rambut. Minimal menghilangkan tiga helai rambut, baik dengan cara mencukur, menggunting, mencabut, membakar atau memotong.


d.   Mabit (menginap) di Muzdalifah.
Demikian ini sesuai dengan pendapat Imam Rofi’I, bahwa mabit di Muzdalifah termasuk sunnah haji. Namun Imam Nawawi menjelaskan dalam tambahan kitab Ar-Raudhah dan Syarah Muhazdab bahwa hal itu termasuk wajib haji.[8]
Mabit di Muzdalifah mulai setelah maghrib sampai terbit fajar 10 dzulhijjah. Diperbolehkan hanya sesaat saja asalkan sudah lewat tengah malam. Bagi yang sehat wajib mabit di Muzdalifah, tetapi bagi yang sakit dan yang mengurus orang yang sakit ataupun yang mengalami kesulitan, diperbolehkan untuk tidak mabit di Muzdalifah dan tidak dikenakan dam.[9]
e.    Shalat dua rakaat thawaf setelah selesai thawaf.
Hendaknya shalat ini dilakukan di belakang Maqam Ibrahim as. Jika shalat dua rakaat ini dilakukan di siang hari, pelankan bacaan. Jika dilakukan di malam hari, keraskan bacaan. Jika tidak dilakukan di belakang maqam tersebut, maka lakukan di Hijir Ismail. Jika tidak, maka lakukan di dalam Masjidil Haram. Jika tidak, maka lakukan di tempat manapun, baik tanah suci atau luar tanah suci.
f.     Mabit di Mina.
Sebagaimana dahulu, inipun menurut pendapat yang dianggap shahih oleh Imam Rofi’i. imam Nawawi dalam tambahan kitab Raudhah menyatakan bahwa mabit di Mina itu wajib.[10]
Kota Mina merupakan tempat berdirinya tugu (jumrah), yaitu tempat pelaksanaan melontarkan batu ke tugu (jumrah) sebagai simbolisasi tindakan nabi Ibrahim ketika mengusir setan. Disana terdapat tiga jumrah yaitu Jumrah Aqabah, Jumrah Ula, dan Jumrah Wustha.[11]
a)      Jumrah Aqabah yakni melempar pada tempat yang bentuknya kira-kira separuh lingkaran. Dalam melemparnya lebih utama dari muka, namun boleh dari samping atau belakang asalkan batu lemparannya mengenai pada tempat yang semestinya, yaitu separo lingkaran yang menyerupai sumur.
b)      Jumrah Wustho yakni melempar pada tempat yang bentuknya lingkaran menyerupai sumur dan ditandai dengan tiang yang berdiri.
c)      Jumrah Sughro/Ula yakni melempar pada tempat yang bentuknya lingkaran menyerupai sumur dan ditandai dengan tiang yang berdiri.[12]
g.    Thawaf Wada’ (pamitan) ketika ingin keluar dari Makkah untuk berpergian.[13]

3)        Rukun haji
1.    Ihram disertai niat.
Maksudnya niat masuk haji.
2.    Wukuf di Arafah.
Wukuf artinya orang yang ihram hadir di Arafah sebentar setelah matahari tergelincir pada hari Arafah. Arafah adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Dengan catatan orang tersebut berhak wukuf, yakni tidak gila dan tidak pingsan. Waktu wukuf berlangsung sampai fajar hari raya Idul Adha, tanggal 10 Dzulhijjah.

3.    Thawaf di Ka’bah sebanyak tujuh kali putaran.
Orang yang thawaf harus meletakkan Ka’bah di sebelah kiri, memulai dengan Hajar Aswad dan selama berjalan badan sejajar dengan batu tersebut. Jika memulai thawaf bukan dari Hajar Aswad, maka tidak dihitung sama sekali.[14]
Macam-Macam Tawaf:
a.       Tawaf Qudum, dilakukan ketika baru sampai di Mekah.
b.      Tawaf Ifadah, dilakukan karena melaksanakan rukun haji.
c.       Tawaf Nazar, dilakukan karena nazar.
d.      Tawaf Sunah, dilakukan tidak karena sebab-sebab tertentu (mencari keutamaan dalam ibadah).
e.       Tawaf Wada’, dilakukan karena hendak meninggalkan mekah.[15]
4.    Sa’I antara Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali.
Syarat Sa’I adalah memulai pertama kali dengan Shafa dan mengakhiri dengan Marwah. Pergi dihitung sekali dan pulang dihitung sekali.[16]











BAB III
PENUTUP

A.  KESIMPULAN
1.    Haji adalah berkunjung atau berziarah ketempat-tempat di kota Makkah al-Mukarrah dalam rangka bertaqarrub/mendekatkan diri kepada Allah swt.
2.    Macam-macam Haji:
a.       Haji Ifrad
b.      Haji Tamattu’
c.       Haji Qiran
3.    Syarat Haji:
a.         Islam
b.        Berakal
c.         Baligh
d.        Kuasa (tidak wajib haji atas orang yang tidak mampu)
4.    Wajib Haji:
a.         Ihram dari miqat.
b.        Melempar tiga jumrah.
c.         Mencukur atau menggunting rambut.
d.        Mabit (menginap) di Muzdalifah.
e.         Sholat dua rakaat thawaf setelah selesai thawaf.
f.         Mabit di Mina.
g.        Thawaf Wada’.
5.    Rukun Haji:
a.         Ihram disertai niat.
b.        Wukuf di Arafah.
c.         Thawaf di Ka’bah sebanyak tujuh kali putaran.
d.        Sa’I antara Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali.



DAFTAR PUSTAKA

Jawad Mughniyah,Muhammad.Fiqih Lima Mazhab.Jakarta: Penerbit SHAF.2015
Luth,Thohir.Syariat Islam Tentang Haji & Umrah.Jakarta: Rineka Cipta.2004.
Rasjid,Sulaiman. Fiqh Islam.Bandung: Sinar Baru Algensindo.2016.
Syaikh Muhammad bin Qasim Al Ghazy,Asy.Pedoman Hukum-Hukum Islam.Surabaya: AL MIFTAH, 2013
Ulfah,Isnatin. Fiqih Ibadah.Ponorogo: STAIN Po PRESS.2009.
Diakses dari http://www.berhaji.com/fiqih-haji/mabit-di-muzdalifah pada tanggal 31 Desember 2017 pukul 9:10 WIB
Diakses dari https://nurulfatimah96.wordpress.com/tugas-tugas/materi-agam/pengertian-haji-dan-umrah/ pada tanggal 31 Desember 2017 pukul 10:16 WIB
Diakses dari http://maklumatkamilah.blogspot.co.id/2008/08/melempar-jumrah-hadyu-fidyah.html?m=1 pada tanggal 31 Desember 2017 pukul 9:49 WIB
Diakses dari http://www.artikelsiana.com/2015/09/pengertian-haji-syarat-rukun-jenis-tata.html?m=1 pada tanggal 1 Januari 2018 pukul 17:00 WIB





























[1] Isnatin Ulfah, Fiqih Ibadah (Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2009) hlm 185
[2] Dr.H.Thohir Luth, M.A, Syariat Islam Tentang Haji & Umrah (Jakarta: Rineka Cipta, 2004) hlm 6
[3] Isnatin Ulfah, Fiqih Ibadah (Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2009) hlm 185                                 
[4] Isnatin Ulfah, Fiqih Ibadah (Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2009) hlm 220-223
[5] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2016) hlm 248
[6] Isnatin Ulfah, Fiqih Ibadah (Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2009) hlm 190-191
[7] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab (Jakarta: Penerbit SHAF, 2015) hlm 232-233
[8] Asy Syaikh Muhammad bin Qasim Al Ghazy, Pedoman Hukum-Hukum Islam (Surabaya: AL MIFTAH, 2013) hlm

368-375
[9] Diakses dari http://www.berhaji.com/fiqih-haji/mabit-di-muzdalifah pada tanggal 31 Desember 2017 pukul 9:10 WIB
[10] Asy Syaikh Muhammad bin Qasim Al Ghazy, Pedoman Hukum-Hukum Islam (Surabaya: AL MIFTAH, 2013) hlm

368-375
[12] Diakses dari http://maklumatkamilah.blogspot.co.id/2008/08/melempar-jumrah-hadyu-fidyah.html?m=1 pada tanggal 31 Desember 2017 pukul 9:49 WIB
[13] Asy Syaikh Muhammad bin Qasim Al Ghazy, Pedoman Hukum-Hukum Islam (Surabaya: AL MIFTAH, 2013) hlm

368-375
[14] Asy Syaikh Muhammad bin Qasim Al Ghazy, Pedoman Hukum-Hukum Islam (Surabaya: AL MIFTAH, 2013) hlm 364-366
[15] Diakses dari http://www.artikelsiana.com/2015/09/pengertian-haji-syarat-rukun-jenis-tata.html?m=1 pada tanggal 1 Januari 2018 pukul 17:00 WIB
[16] Asy Syaikh Muhammad bin Qasim Al Ghazy, Pedoman Hukum-Hukum Islam (Surabaya: AL MIFTAH, 2013) hlm 364-366

Tidak ada komentar:

Entri yang Diunggulkan

KAMMI IAIN Ponorogo gelar penggalangan dana

Organisasi KAMMI gelar penggalangan dana untuk membantu korban Gempa di Lombok Kader KAMMI Daerah Ponorogo menggalang dana untuk membantu...