BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Ibadah merupakan suatu kewajiban bagi umat manusia
terhadap tuhannya dan dengan ibadah manusia akan mendapatkan ketenangan dan
kebahagiaan di dunia dan di akhirat nanti. Bentuk dan jenis ibadah sangat
bermacam-macam, contohnya sholat, puasa, membaca Al-Qur’an, melaksanakan ibadah
haji, berjihad dan lainnya.
Sholat merupakan ibadah yang wajib dilaksanakan oleh umat
muslim di seluruh dunia. Dan sholat sendiri memiliki banyak kaidah-kaidah yang
harus dipahami dalam pengerjaanya maupun pakaian yang dikenakan untuk
melaksanakan ibadah sholat. Hal tersebut termasuk dalam syarat-syarat sholat.
Sebagian orang mengatakan bahwasanya orang yang tidak memenuhi syarat-syarat
sholat tersebut sholatnya tidak sah. Dalam makalah ini saya akan sedikit
membahas mengenai syarat-syarat sholat yang terdiri dari “Menutup aurat dan
menghadap kiblat”.
Menutup aurat, gambaran tentang menutup aurat pastinya
sudah tidak asing bagi kaum perempuan maupun laki-laki. Kaum perempuan utamanya
selalu memperhatikan fashion yang mengikuti mode atau tren pada masa ini.
Kiblat yaitu panutan kita saat melakukan ibadah sholat fardhu maupun sunnah. Dalam
penentuan arah kiblat, pada masa awal Islam; dinyatakan sejak zaman Nabi dan
para sahabat dikembangkan teori penentuan arah kiblat menggunakan benda langit
sebagai pedoman. Ketika Nabi Muhammad berada di Madinah, beliau berijtihad sholat
menghadap ke arah selatan. Posisi Madinah yang berada di utara Mekkah
menjadikan posisi arah ke Ka’bah menghadap ke arah selatan. Berdasarkan hal
tersebut Nabi menyatakan bahwa antara timur dan barat adalah kiblat.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana
tatacara berpakaian atau menutup aurat dalam melaksanakan sholat ?
2.
Bagaimana
menentukan arah kiblat ketika melaksanakan sholat?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
MENUTUP AURAT
Menurut kalangan awam menutup aurat adalah menutup
aib-aib badan dari pandangan orang lain yang bukan mahramnya. Aurat menurut
hukum Islam merupakan batas minimal dari anggota tubuh manusia yang wajib
ditutupi karena adanya perintah Allah SWT. Aurat wanita dewasa adalah seluruh
tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya sampai kepada pergelangan
tangannya.
Menurut mazhab Hanafi : bagi wanita wajib menutupi
belakang dua telapak tangan dan dua telapak kakinya, sedangkan bagi laki-laki
wajib menutup dari lutut ke atas sampai pada pusar.
Menurut mazhab Syafi’i dan Maliki : bagi wanita boleh
membuka wajahnya, dan dua telapak tangannya (baik dalam maupun luarnya) ketika
sedang melaksanakan shalat.
Menurut mazhab Hanbali : bagi wanita tidak boleh dibuka
kecuali wajahnya saja. Karena menurutnya seluruh tubuh wanita dewasa adalah
aurat.
Mazhab Maliki membagi aurat wanita ketika melaksanakan
sholat menjadi 2 bagian yaitu mughaladzah (berat) dan mukhafaffah (ringan).
Aurat mughaladzah adalah seluruh anggota badan selain bagian kepala, punggung,
dada dan pusar hingga lutut. Sedangkan untuk aurat mukhafaffah adalah seluruh
tubuh selain bagian dada, leher, punggung, lengan (antara siku hingga
pergelangan tangan), lutut sampai akhir telapak kaki atau selain pusar hingga
lutut kaki. Terbukanya aurat mughaladzah ketika melaksanakan sholat dapat
membatalkan sholat, sedangkan terbukanya aurat mukhofaffah tidak membatalkan
sholat akan tetapi disunnahkan untuk mengulangi sholatnya apabila waktunya
mencukupi.
[1]Di dalam misbah asy-syariah disebutkan bahwa imam
ash-shadiq a,s berkata
“Pakaian terindah bagi kaum mukmin adalah pakaian takwa, dan pakaian paling
nikmat adalah iman”.
Allah azza wa jalla berfirman yang artinya : “Dan pakaian
takwa itulah yang lebih baik”.
“Pakaian lahir adalah nikmat dari Allah yang menutup aurat anak adam. Ia
merupakan kemuliaan yang dengannya Allah memuliakan hamba-hambaNya, keturunan
Adam A,s (kemuliaan) yang tidak pernah diberikan –Nya kepada yang lain. Ia juga
merupakan alat bagi kaum mukmin untuk menunaikan kewajiban yang telah
dilekatkan oleh Allah kepada mereka.”
Allah SWT berfirman :
يَا
بَنِي آدَمَ خُذُوا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
Artinya : “Wahai anak Adam pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.”
(Al-A’raf: 31)[2]
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata: “Mereka diperintahkan untuk
mengenakan pakaian yang indah ketika
datang ke masjid guna untuk melaksanakan sholat atau thowaf di Baitullah.” Ayat
ini dijadikan sebagai dalil yang menunjukkan wajibnya seseorang menutup aurat
ketika melaksanakan sholat. Demikianlah pendapat yang dipegang oleh jumhur
ulama.
Menutup aurat disyaratkan dalam sholat bertujuan untuk
menjaga aurat ketika menghadap Allah SWT. Dan dalam sholat kita harus
menggunakan pakaian yang tidak hanya sekedar bersih, namun juga harus suci dari
najis maupun hadas.
[3]Menutup aurat di wajibkan kepada semua umat muslim
laki-laki dan perempuan,
·
Aurat
laki-laki
Anggota
badan seorang laki-laki yang wajib tertutup adalah dimulai dari pusar ke bawah
sampai ke dua lutut.
Hal
ini di sebutkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Bakar,
Artinya
: “Auratnya orang laki-laki itu mulai
dari pusar kebawah sampai dua lutut.” (HR. Abu Bakar)
·
Aurat
perempuan
Semua
anggota badan perempuan adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan (Luar dan
dalam) berdasarkan firman Allah swt surat An-Nur ayat 31 :
Artinya ; “Allah
swt berfirman : “janganlah mereka (kaum wanita) menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak” dan ayat tersebut dalam tafsirnya disebutkan :
Ibnu ‘Abbas berkata :”Maksudnya adalah
wajah dan telapak tangan”
[4]Pendapat batal atau tidaknya sholat menurut Asy Syikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimatullahu, apabila dalam sholat pakaian
yang dikenakan dalam sholatnya tersingkap, beliau menerangkan bahwa :
1. Bila ia melakukannya dengan disengaja
maka sholatnya akan batal, baik tersingkapnya pakaian itu banyak ataupun
sedikit dan lama atau hanya sebentar.
2. Bila tidak sengaja dan tersingkap hanya
sedikit, maka sholatnya tidak batal
3. Bila tidak sengaja namun tersingkapnya
banyak dan dalam waktu yang singkat maka sholatnya tidak batal
4. Apabila tersingkap banyak namun tanpa
disengaja dan dalam waktu yang lama, lalu ia tidak tahu dan ia mengetahuinya
setelah salam maka sholatnya dianggap tidak sah.
B.
MENGHADAP QIBLAT
Kata kiblat berasal dari bahasa Arab al-qiblah. Disebutkan sebanyak tujuh
kali dalam al-Qur’an. Diambil dari kata qabala-yaqbulu yang artinya arah
menghadap. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai arah ke Ka’bah
di Mekah (pada waktu shalat). Ka’bah juga sering disebut dengan Baitullah
(Rumah Allah). Menghadap arah Kiblat merupakan suatu hal yang sangat penting
dalam syariat Islam. Menurut hukum
syariat, menghadap ke arah kiblat diartikan sebagai seluruh tubuh atau badan
seseorang menghadap ke arah Ka'bah yang terletak di Makkah yang merupakan pusat
tumpuan umat Islam bagi menyempurnakan ibadah-ibadah tertentu.
Ayat-ayat yang menjelaskan perintah menghadap Kiblat dalam sholat :
Al-Baqarah [2]:
142-145[5]
سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا
وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ
وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
(142) Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan
berkata: “Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul
Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?” Katakanlah: “Kepunyaan
Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus”.
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ
يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ
لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ
إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
[6](143) Dan demikian (pula) Kami telah
menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi
atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
(perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu
(sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti
Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat
berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan
Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang kepada manusia.
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ
فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ
لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
(144) Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke
langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada,
palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan
Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa
berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah
sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَا
تَبِعُوا قِبْلَتَكَ وَمَا أَنْتَ بِتَابِعٍ قِبْلَتَهُمْ وَمَا بَعْضُهُمْ
بِتَابِعٍ قِبْلَةَ بَعْضٍ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا
جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ
(145) Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada
orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil), semua
ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamupun tidak akan
mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian merekapun tidak akan mengikuti kiblat
sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka
setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu — kalau begitu — termasuk
golongan orang-orang yang zalim.
[7]Semua ulama mazhab sepakat bahwa ka’bah itu adalah
kiblat bagi orang-orang yang dekat dan dapat melihatnya. Tetapi mereka berbeda
pendapat tentang kiblat bagi orang yang jauh dan tidak dapat melihatnya.
Imam Hanafi, Hambali, Maliki dan sebagian kelompok dari imamiyah :
Kiblatnya orang yang jauh adalah arah di mana letaknya Ka’bah berada, bukan
Ka’bah itu sendiri, baik untuk orang yang dekat dengan Ka’bah maupun bagi orang
yang jauh dari Ka’bah. Jika ia dapat mengetahui arah Ka’bah itu secara tepat,
maka ia harus menghadapnya dan jika tidak, maka cukup dengan diperkirakan saja.
Kiblat adalah ummul qura’ dan pusat hamparan bumi. Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya. Kata
kiblat berasal dari bahasa Arab al-qiblah. Disebutkan sebanyak tujuh kali dalam
al-Qur’an.
Seorang muslim yang melakukan
shalat baginya diwajibkan untuk menghadap ke Baitullah (Ka’bah ) yang ada di
Masjid Al-Haram di Makkah. Hal ini dituangkan dalam firman Allah swt, yang
artinya : “Allah swt berfirman : “Dan dari mana saja keluar, maka
palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram (Ka’bah). Dan di mana saja kamu
berada (keadaan Shalat) maka hadapkanlah wajahmu kearahnya (Masjid al-Haram)”
QS. Al-Baqarah : 144)[8]
Menghadap kiblat secara bahasa
kiblat berasal dari kata Qiblah atau yang berarti arah. Dan secara istilah kiblat merupakan arah bagi
setiap muslim dalam melakukan ibadah sholat.[9]
Para ulama bersepakat bahwa menghadap kiblat adalah syarat sah nya sholat ,
kecuali shalat Khawf, solat sunnah diatas kendaraan atau perahu. Kesimpulan ini
disebutkan dalam Al-Baqarah (2); 144.
Menurut mazhab Hanafiyah jika
orang tersebut mampu melakukannya (menghadap kiblat), maka ia wajib solat
dengan menghadap kiblat. Jika ia termasuk orang yang dapat melihat bangunan
Ka’bah, maka kiblatnya adalah fisik Ka’bah itu sendiri. Sehingga jika ia
melenceng dari bangunan fisik Ka’bah tanpa menghadap ke salah satu bagian
bangunan tersebut, maka sholatnya dianggap tidak sah.
Menurut mazhab Syafi’i
menetapkan 2 pendapat, yaitu pertama, menghadap ke arah kiblat (jihat
al-Ka’bah), dan kedua menghadap ke bangunan Ka’bah (ain al-Ka’bah). Imam
Bin Idris Al-Syafi’i dalam kitabnya al-Umm, mengatakan bahwa yang wajib
dalam berkiblat adalah menghadap secara tepat kepada bangunan Ka’bah. Kewajiban
ini tidak membedakan apakah seseorang dapat melihat bangunan Ka’bah secara
langsung, atakah orang yang berada jauh dari Ka’bah sehingga tidak bisa melihat
Ka’bah secara langsung.
[10]Menghadap kiblat adalah syarat, dan shalat tidak sah jika
tidak menghadap ke kiblat, kecuali orang-orang yang berada dalam empat kondisi,
a. Shalat sunnah di atas kendaraan atau
yang lainnya, shalatnya dilakukan dengan memakai isyarat pada ruku’ dan sujud
dan sujudnya lebih rendah ke bawah daripada ruku’ nya. Dan untuk kiblatnya di
tentukan sesuai posisi kendaraan menghadap.
b. Shalatnya orang yang di paksa contohnya
orang yang dalam keadaan diikat sebuah kayu. Ia di perbolehkan untuk tidak
menghadap kiblat dan sholatnya disesuaikan seperti posisi ia menghadap pada
saat itu.
c. Sholatnya orang yang sakit, dan pada
saat itu juga tidak ada orang yang membantu menghadapkannya ke arah kiblat,
maka di perbolehkan untuk menghadap kemanapun ia mampu.
d. Shalat khauf, shalat ini dilakukan
ketika dalam keadaan yang darurat atau dalam keadaan bahaya contohnya dalam
suasana peperangan. Melakukan sholat diperbolehkan tidak menghadap kiblat. Hal
ini dijelaskan sebagaimana firman Allah, ‘Jika
kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau
berkendaraan.” (Al-Baqarah: 239)
Orang yang tidak mengetahui Kiblat, maka ia wajib berusaha
dan berijtihad sampai ia mengetahui atau memperkirakan bahwa Kiblat ada
di satu arah tertentu. Tapi bila tetap tidak bisa mengetahuinya dan juga tidak
dapat memperkirakan maka menurut empat mazhab dan sekelompok Imamiyah: Ia
shalat ke mana saja yang disukainya dan sah shalatnya. Dan tidak wajib
mengulanginya lagi, ini menurut Syafi’i.
[11]Sebagian besar Imamiyah: Ia harus shalat ke empat arah
sebagai rasa patuh dalam melaksanakan perintah shalat, sebab salah satunya
pasti ada yang tepat. Tapi bila waktunya sudah sempit untuk mengulang-ulang
sampai empat kali, atau tidak mampu untuk mendirikan shalat ke empat arah, maka
cukup shalat pada sebagian arah yang ia mampu saja.
Imamiyah: kalau kesalahannya itu diketahui ketika
sedang shalat, dan ia miring(tidak mengarah)
ke Kiblat ke kanan atau ke kiri, maka ia
harus melanjutkan sholatnya yang telah ia lakukan, tetapi sisanya harus
diluruskan ke arah Kiblat. Kalau ia tahu bahwa ia sholat ke arah Timur, Barat,
Utara atau justru membelakangi Kiblat, maka batallah shalatnya dan ia harus
mengulanginya lagi dari pertama. Bila ia mengetahui setelah selesai shalat,
maka ia harus mengulangi lagi pada waktu itu, bukan di luar waktu.
Menurut mazhab Hanafi dan Hanbali: kalau ia berusaha ber-ijtihad
untuk mencari arah kiblat, tetapi tidak ada satu arah pun dari beberapa
arah yang lebih kuat untuk dijadikan patokan arah Kiblat, maka ia boleh shalat
menghadap ke mana saja, bila kemudian mengetahui bahwa ia salah, maka kalau ia
masih di pertengahan, ia harus berubah ke arah yang diyakininya atau arah yang
paling kuat. Tapi bila mengetahui bahwa ia salah setelah selesai shalat, maka
sah shalatnya dan tidak diwajibkan mengulangi shalatnya.
Menurut mazhab Syafi’i: kalau ia tahu bahwa ia salah
dengan cara yang meyakinkan, maka ia wajib mengulanginya lagi. Tapi bila hanya
mengetahui dengan cara perkiraan saja, maka sah shalatnya, tidak ada bedanya,
baik ketika sedang shalat maupun sesudahnya.
Menurut mazhab Maliki dan Hanbali: bagi orang yang tidak
mau berusaha dan tidak mau ber-ijtihad kemudian nampak bahwa ia telah
shalat ke arah kiblat dengan benar, maka shalatnya batal.
[12]Menurut mazhab Hanafi dan Imamiyah: sah shalatnya kalau
ia shalat tanpa ada keraguan dan ketika memulai shalatnya ia yakin bahwa ia
menghadap ke arah Kiblat, karena pada keadaan seperti itu ia telah melakukan
sesuatu yang diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka sah-lah
niatnya.
Konsep ijtihad dalam menentukan arah kiblat
Empat mazhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali
telah bersepakat bahwa menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sahnya
shalat. Terdapat tiga kaidah dasar yang bisa digunakan untuk memenuhi syarat dalam
menghadap kiblat yaitu:
1. Menghadap Kiblat Yakin (Kiblat Yakin)
Seseorang yang berada di dalam Masjidil Haram dan dapat
melihat langsung kepada Ka'bah, maka wajib menghadapkan dirinya kepada Kiblat dengan
penuh yakin. Hal ini disebut sebagai “Ainul Ka’bah”. Dan kewajiban ini dapat
dipastikan terlebih dahulu dengan cara melihat atau menyentuhnya bagi orang
yang buta atau menggunakan cara yang lain misalnya melalui indra pendengaran. Sedangkan bagi seseorang yang
berada dalam bangunan Ka’bah itu sendiri maka kiblatnya adalah dinding Ka’bah.
2. Menghadap Kiblat Perkiraan (Kiblat Dzan)
Seseorang yang berada jauh dari Ka'bah yaitu berada
diluar Masjidil Haram atau di sekitar tanah suci Mekkah sehingga tidak dapat
melihat bangunan Ka’bah, mereka wajib menghadap ke arah Masjidil Haram sebagai
maksud menghadap ke arah Kiblat secara dzan atau kiraan atau disebut sebagai “Jihadul
Ka’bah”. Untuk mengetahuinya dapat dengan
bertanya kepada yang mengetahui tentang hal tersebut seperti
penduduk Mekkah
atau dengan melihat
tanda-tanda kiblat atau “shaff” yang sudah dibuat di tempat–tempat
tersebut.
3. Menghadap Kiblat Ijtihad (Kiblat
Ijtihad)
Ijtihad
arah kiblat digunakan seseorang yang berada di luar tanah suci Mekkah atau bahkan di
luar negara Arab Saudi. Bagi yang tidak mengetahui arah kiblat dan ia tidak dapat memperkirakan Kiblat Dzan nya maka
ia diperbolehkan menghadap kemanapun
yang diyakini
sebagai arah kiblat. Namun apabila ia dapat memperkirakan arah kiblat
maka ia wajib berijtihad
terhadap arah kiblatnya. Ijtihad dapat digunakan untuk menentukan arah kiblat
dari suatu tempat yang terletak jauh dari Masjidil Haram. Diantaranya adalah
ijtihad menggunakan posisi rasi bintang, bayangan matahari, arah matahari
terbenam dan perhitungan segitiga bola maupun pengukuran menggunakan peralatan.[13]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
A.
Menutup aurat
disyaratkan dalam sholat bertujuan untuk menjaga aurat ketika menghadap Allah
SWT. Dan dalam sholat kita harus menggunakan pakaian yang tidak hanya sekedar
bersih, namun juga harus suci dari najis maupun hadas.
B.
Semua ulama
mazhab sepakat bahwa ka’bah itu adalah kiblat bagi orang-orang yang dekat dan
dapat melihatnya. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang kiblat bagi orang yang
jauh dan tidak dapat melihatnya. Imam Hanafi, Hambali, Maliki dan sebagian
kelompok dari imamiyah : Kiblatnya orang yang jauh adalah arah di mana letaknya
Ka’bah berada, bukan Ka’bah itu sendiri, baik untuk orang yang dekat dengan
Ka’bah maupun bagi orang yang jauh dari Ka’bah. Jika ia dapat mengetahui arah
Ka’bah itu secara tepat, maka ia harus menghadapnya dan jika tidak, maka cukup
dengan diperkirakan saja.
DAFTAR PUSTAKA
Ulfah, Isnatin. Fiqih Ibadah. Stain Po Press.
Misbah asy-Syariah, bab ke-7 Shalat Ahli Makrifat,
Imam Rahullah al-Musawi al-Khumaini, terbitan Muassasah Tanzhim wa Nasyr Turats
al imam al-Khumaini, Teheran, 1995 (Pustaka Hidayah)
Djazuli, A. Zainuddin. FIQQIH LINTAS MADZHAB juz 1 (Hanafi,
Maliki, Syafi’i, Hambali). (Pengasuh PP, Al Fallah Ploso Kediri), Kediri 23
November 2011.
Qadir, Abdul.
Panduan lengkap Shalat Menurut Empat Madzhab. Ar-Rahbaw. (Pustaka
Al-Kautsar). bab Shalat.
M. Mughniyah, Jawad. Fiqih Lima Mazhab, (Penerbit Lentera
bekerja sama dengan Penerbit Shaf).
[1] [1] Misbah asy-Syariah, SHALAT AHLI MAKRIFAT, Imam Rahullah al-Musawi
al-Khumaini, terbitan Muassasah Tanzhim wa Nasyr Turats al imam al-Khumaini.
Teheran. (PUSTAKA HIDAYAH, 1995).
[2] Al-Qur’an
[3] Zainuddin Djazuli, FIQQIH LINTAS MADZHAB juz 1 (Hanafi, Maliki,
Syafi’i, Hambali), (Pengasuh PP, Al
Fallah Ploso Kediri), Kediri 23 November 2011, hlm 90-91.
[7] Muhammad Jawad
Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Penerbit Lentera bekerja sama dengan
Penerbit Shaf), hlm. 101.
[8] FIQQIH LINTAS MADZHAB juz 1 (Hanafi, Maliki,
Syafi’i, Hambali), Bab VI SHALAT. hlm 94.
[9] Isnatin Ulfah, FIQIH IBADAH. (Stain Po Press). hlm 64. (Tim
Penyusun, Ensiklopedia islam, vol.3 , Jkt ; PT. Ikrar Mandiriabadi,2001),66
[10] Syaikh Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Panduan lengkap Shalat Menurut Empat
Madzhab, (Pustaka Al-Kautsar. bab
Shalat), hlm 210-212.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar