Kamis, 25 Januari 2018

Makalah menutup aurot dan menghadap kiblat

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Ibadah merupakan suatu kewajiban bagi umat manusia terhadap tuhannya dan dengan ibadah manusia akan mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat nanti. Bentuk dan jenis ibadah sangat bermacam-macam, contohnya sholat, puasa, membaca Al-Qur’an, melaksanakan ibadah haji, berjihad dan lainnya.
Sholat merupakan ibadah yang wajib dilaksanakan oleh umat muslim di seluruh dunia. Dan sholat sendiri memiliki banyak kaidah-kaidah yang harus dipahami dalam pengerjaanya maupun pakaian yang dikenakan untuk melaksanakan ibadah sholat. Hal tersebut termasuk dalam syarat-syarat sholat. Sebagian orang mengatakan bahwasanya orang yang tidak memenuhi syarat-syarat sholat tersebut sholatnya tidak sah. Dalam makalah ini saya akan sedikit membahas mengenai syarat-syarat sholat yang terdiri dari “Menutup aurat dan menghadap kiblat”.
Menutup aurat, gambaran tentang menutup aurat pastinya sudah tidak asing bagi kaum perempuan maupun laki-laki. Kaum perempuan utamanya selalu memperhatikan fashion yang mengikuti mode atau tren pada masa ini. Kiblat yaitu panutan kita saat melakukan ibadah sholat fardhu maupun sunnah. Dalam penentuan arah kiblat, pada masa awal Islam; dinyatakan sejak zaman Nabi dan para sahabat dikembangkan teori penentuan arah kiblat menggunakan benda langit sebagai pedoman. Ketika Nabi Muhammad berada di Madinah, beliau berijtihad sholat menghadap ke arah selatan. Posisi Madinah yang berada di utara Mekkah menjadikan posisi arah ke Ka’bah menghadap ke arah selatan. Berdasarkan hal tersebut Nabi menyatakan bahwa antara timur dan barat adalah kiblat.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana tatacara berpakaian atau menutup aurat dalam melaksanakan sholat ?
2.      Bagaimana menentukan arah kiblat ketika melaksanakan sholat?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    MENUTUP AURAT
Menurut kalangan awam menutup aurat adalah menutup aib-aib badan dari pandangan orang lain yang bukan mahramnya. Aurat menurut hukum Islam merupakan batas minimal dari anggota tubuh manusia yang wajib ditutupi karena adanya perintah Allah SWT. Aurat wanita dewasa adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya sampai kepada pergelangan tangannya.
Menurut mazhab Hanafi : bagi wanita wajib menutupi belakang dua telapak tangan dan dua telapak kakinya, sedangkan bagi laki-laki wajib menutup dari lutut ke atas sampai pada pusar.
Menurut mazhab Syafi’i dan Maliki : bagi wanita boleh membuka wajahnya, dan dua telapak tangannya (baik dalam maupun luarnya) ketika sedang melaksanakan shalat.
Menurut mazhab Hanbali : bagi wanita tidak boleh dibuka kecuali wajahnya saja. Karena menurutnya seluruh tubuh wanita dewasa adalah aurat.
Mazhab Maliki membagi aurat wanita ketika melaksanakan sholat menjadi 2 bagian yaitu mughaladzah (berat) dan mukhafaffah (ringan). Aurat mughaladzah adalah seluruh anggota badan selain bagian kepala, punggung, dada dan pusar hingga lutut. Sedangkan untuk aurat mukhafaffah adalah seluruh tubuh selain bagian dada, leher, punggung, lengan (antara siku hingga pergelangan tangan), lutut sampai akhir telapak kaki atau selain pusar hingga lutut kaki. Terbukanya aurat mughaladzah ketika melaksanakan sholat dapat membatalkan sholat, sedangkan terbukanya aurat mukhofaffah tidak membatalkan sholat akan tetapi disunnahkan untuk mengulangi sholatnya apabila waktunya mencukupi.
[1]Di dalam misbah asy-syariah disebutkan bahwa imam ash-shadiq a,s berkata
“Pakaian terindah bagi kaum mukmin adalah pakaian takwa, dan pakaian paling nikmat adalah iman”.
Allah azza wa jalla berfirman yang artinya : “Dan pakaian takwa itulah yang lebih baik”.
“Pakaian lahir adalah nikmat dari Allah yang menutup aurat anak adam. Ia merupakan kemuliaan yang dengannya Allah memuliakan hamba-hambaNya, keturunan Adam A,s (kemuliaan) yang tidak pernah diberikan –Nya kepada yang lain. Ia juga merupakan alat bagi kaum mukmin untuk menunaikan kewajiban yang telah dilekatkan oleh Allah kepada mereka.”
Allah SWT berfirman :
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
Artinya : “Wahai anak Adam pakailah  pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (Al-A’raf: 31)[2]
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata: “Mereka diperintahkan untuk mengenakan pakaian yang indah  ketika datang ke masjid guna untuk melaksanakan sholat atau thowaf di Baitullah.” Ayat ini dijadikan sebagai dalil yang menunjukkan wajibnya seseorang menutup aurat ketika melaksanakan sholat. Demikianlah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama.
Menutup aurat disyaratkan dalam sholat bertujuan untuk menjaga aurat ketika menghadap Allah SWT. Dan dalam sholat kita harus menggunakan pakaian yang tidak hanya sekedar bersih, namun juga harus suci dari najis maupun hadas.
[3]Menutup aurat di wajibkan kepada semua umat muslim laki-laki dan perempuan,
·         Aurat laki-laki
Anggota badan seorang laki-laki yang wajib tertutup adalah dimulai dari pusar ke bawah sampai ke dua lutut.
Hal ini di sebutkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Bakar,

Artinya : “Auratnya orang laki-laki itu mulai dari pusar kebawah sampai dua lutut.” (HR. Abu Bakar)
·         Aurat perempuan
Semua anggota badan perempuan adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan (Luar dan dalam) berdasarkan firman Allah swt surat An-Nur ayat 31 :
Artinya ; “Allah swt berfirman : “janganlah mereka (kaum wanita) menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak” dan ayat tersebut dalam tafsirnya disebutkan : Ibnu ‘Abbas berkata :”Maksudnya adalah wajah dan telapak tangan
[4]Pendapat batal atau tidaknya sholat menurut Asy Syikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimatullahu, apabila dalam sholat pakaian yang dikenakan dalam sholatnya tersingkap, beliau menerangkan bahwa :
1.      Bila ia melakukannya dengan disengaja maka sholatnya akan batal, baik tersingkapnya pakaian itu banyak ataupun sedikit dan lama atau hanya sebentar.
2.      Bila tidak sengaja dan tersingkap hanya sedikit, maka sholatnya tidak batal
3.      Bila tidak sengaja namun tersingkapnya banyak dan dalam waktu yang singkat maka sholatnya tidak batal
4.      Apabila tersingkap banyak namun tanpa disengaja dan dalam waktu yang lama, lalu ia tidak tahu dan ia mengetahuinya setelah salam maka sholatnya dianggap tidak sah.

B.     MENGHADAP QIBLAT

Kata kiblat berasal dari bahasa Arab al-qiblah. Disebutkan sebanyak tujuh kali dalam al-Qur’an. Diambil dari kata qabala-yaqbulu yang artinya arah menghadap. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai arah ke Ka’bah di Mekah (pada waktu shalat). Ka’bah juga sering disebut dengan Baitullah (Rumah Allah). Menghadap arah Kiblat merupakan suatu hal yang sangat penting dalam  syariat Islam. Menurut hukum syariat, menghadap ke arah kiblat diartikan sebagai seluruh tubuh atau badan seseorang menghadap ke arah Ka'bah yang terletak di Makkah yang merupakan pusat tumpuan umat Islam bagi menyempurnakan ibadah-ibadah tertentu.
Ayat-ayat yang menjelaskan perintah menghadap Kiblat dalam sholat :

Al-Baqarah [2]: 142-145[5]

سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

(142)   Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: “Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?” Katakanlah: “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus”.

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ

[6](143)   Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ

(144)   Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.

وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ وَمَا أَنْتَ بِتَابِعٍ قِبْلَتَهُمْ وَمَا بَعْضُهُمْ بِتَابِعٍ قِبْلَةَ بَعْضٍ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ

(145)   Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamupun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian merekapun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu — kalau begitu — termasuk golongan orang-orang yang zalim.

[7]Semua ulama mazhab sepakat bahwa ka’bah itu adalah kiblat bagi orang-orang yang dekat dan dapat melihatnya. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang kiblat bagi orang yang jauh dan tidak dapat melihatnya.
Imam Hanafi, Hambali, Maliki dan sebagian kelompok dari imamiyah : Kiblatnya orang yang jauh adalah arah di mana letaknya Ka’bah berada, bukan Ka’bah itu sendiri, baik untuk orang yang dekat dengan Ka’bah maupun bagi orang yang jauh dari Ka’bah. Jika ia dapat mengetahui arah Ka’bah itu secara tepat, maka ia harus menghadapnya dan jika tidak, maka cukup dengan diperkirakan saja.
Kiblat adalah ummul qura’ dan pusat hamparan bumi. Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya. Kata kiblat berasal dari bahasa Arab al-qiblah. Disebutkan sebanyak tujuh kali dalam al-Qur’an.
Seorang muslim yang melakukan shalat baginya diwajibkan untuk menghadap ke Baitullah (Ka’bah ) yang ada di Masjid Al-Haram di Makkah. Hal ini dituangkan dalam firman Allah swt, yang artinya : “Allah swt berfirman : “Dan dari mana saja keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram (Ka’bah). Dan di mana saja kamu berada (keadaan Shalat) maka hadapkanlah wajahmu kearahnya (Masjid al-Haram)” QS. Al-Baqarah : 144)[8]
Menghadap kiblat secara bahasa kiblat berasal dari kata Qiblah atau yang berarti arah.  Dan secara istilah kiblat merupakan arah bagi setiap muslim dalam melakukan ibadah sholat.[9] Para ulama bersepakat bahwa menghadap kiblat adalah syarat sah nya sholat , kecuali shalat Khawf, solat sunnah diatas kendaraan atau perahu. Kesimpulan ini disebutkan dalam Al-Baqarah (2); 144.
Menurut mazhab Hanafiyah jika orang tersebut mampu melakukannya (menghadap kiblat), maka ia wajib solat dengan menghadap kiblat. Jika ia termasuk orang yang dapat melihat bangunan Ka’bah, maka kiblatnya adalah fisik Ka’bah itu sendiri. Sehingga jika ia melenceng dari bangunan fisik Ka’bah tanpa menghadap ke salah satu bagian bangunan tersebut, maka sholatnya dianggap tidak sah.
Menurut mazhab Syafi’i menetapkan 2 pendapat, yaitu pertama, menghadap ke arah kiblat (jihat al-Ka’bah), dan kedua menghadap ke bangunan Ka’bah (ain al-Ka’bah). Imam Bin Idris Al-Syafi’i dalam kitabnya al-Umm, mengatakan bahwa yang wajib dalam berkiblat adalah menghadap secara tepat kepada bangunan Ka’bah. Kewajiban ini tidak membedakan apakah seseorang dapat melihat bangunan Ka’bah secara langsung, atakah orang yang berada jauh dari Ka’bah sehingga tidak bisa melihat Ka’bah secara langsung.
[10]Menghadap kiblat adalah syarat, dan shalat tidak sah jika tidak menghadap ke kiblat, kecuali orang-orang yang berada dalam empat kondisi,
a.       Shalat sunnah di atas kendaraan atau yang lainnya, shalatnya dilakukan dengan memakai isyarat pada ruku’ dan sujud dan sujudnya lebih rendah ke bawah daripada ruku’ nya. Dan untuk kiblatnya di tentukan sesuai posisi kendaraan menghadap.
b.      Shalatnya orang yang di paksa contohnya orang yang dalam keadaan diikat sebuah kayu. Ia di perbolehkan untuk tidak menghadap kiblat dan sholatnya disesuaikan seperti posisi ia menghadap pada saat itu.
c.       Sholatnya orang yang sakit, dan pada saat itu juga tidak ada orang yang membantu menghadapkannya ke arah kiblat, maka di perbolehkan untuk menghadap kemanapun ia mampu.
d.      Shalat khauf, shalat ini dilakukan ketika dalam keadaan yang darurat atau dalam keadaan bahaya contohnya dalam suasana peperangan. Melakukan sholat diperbolehkan tidak menghadap kiblat. Hal ini dijelaskan sebagaimana firman Allah, ‘Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (Al-Baqarah: 239)
Orang yang tidak mengetahui Kiblat, maka ia wajib berusaha dan berijtihad sampai ia mengetahui atau memperkirakan bahwa Kiblat ada di satu arah tertentu. Tapi bila tetap tidak bisa mengetahuinya dan juga tidak dapat memperkirakan maka menurut empat mazhab dan sekelompok Imamiyah: Ia shalat ke mana saja yang disukainya dan sah shalatnya. Dan tidak wajib mengulanginya lagi, ini menurut Syafi’i.
[11]Sebagian besar Imamiyah: Ia harus shalat ke empat arah sebagai rasa patuh dalam melaksanakan perintah shalat, sebab salah satunya pasti ada yang tepat. Tapi bila waktunya sudah sempit untuk mengulang-ulang sampai empat kali, atau tidak mampu untuk mendirikan shalat ke empat arah, maka cukup shalat pada sebagian arah yang ia mampu saja.
Imamiyah: kalau kesalahannya itu diketahui ketika sedang  shalat, dan ia miring(tidak mengarah) ke Kiblat  ke kanan atau ke kiri, maka ia harus melanjutkan sholatnya yang telah ia lakukan, tetapi sisanya harus diluruskan ke arah Kiblat. Kalau ia tahu bahwa ia sholat ke arah Timur, Barat, Utara atau justru membelakangi Kiblat, maka batallah shalatnya dan ia harus mengulanginya lagi dari pertama. Bila ia mengetahui setelah selesai shalat, maka ia harus mengulangi lagi pada waktu itu, bukan di luar waktu.
Menurut mazhab Hanafi dan Hanbali: kalau ia berusaha ber-ijtihad untuk mencari arah kiblat, tetapi tidak ada satu arah pun dari beberapa arah yang lebih kuat untuk dijadikan patokan arah Kiblat, maka ia boleh shalat menghadap ke mana saja, bila kemudian mengetahui bahwa ia salah, maka kalau ia masih di pertengahan, ia harus berubah ke arah yang diyakininya atau arah yang paling kuat. Tapi bila mengetahui bahwa ia salah setelah selesai shalat, maka sah shalatnya dan tidak diwajibkan mengulangi shalatnya.
Menurut mazhab Syafi’i: kalau ia tahu bahwa ia salah dengan cara yang meyakinkan, maka ia wajib mengulanginya lagi. Tapi bila hanya mengetahui dengan cara perkiraan saja, maka sah shalatnya, tidak ada bedanya, baik ketika sedang shalat maupun sesudahnya.
Menurut mazhab Maliki dan Hanbali: bagi orang yang tidak mau berusaha dan tidak mau ber-ijtihad kemudian nampak bahwa ia telah shalat ke arah kiblat dengan benar, maka shalatnya batal.
[12]Menurut mazhab Hanafi dan Imamiyah: sah shalatnya kalau ia shalat tanpa ada keraguan dan ketika memulai shalatnya ia yakin bahwa ia menghadap ke arah Kiblat, karena pada keadaan seperti itu ia telah melakukan sesuatu yang diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka sah-lah niatnya.
Konsep ijtihad dalam menentukan arah kiblat
Empat mazhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali telah bersepakat bahwa menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sahnya shalat. Terdapat tiga kaidah dasar yang bisa digunakan untuk memenuhi syarat dalam menghadap kiblat yaitu:
1.      Menghadap Kiblat Yakin (Kiblat Yakin)
Seseorang yang berada di dalam Masjidil Haram dan dapat melihat langsung kepada Ka'bah, maka wajib menghadapkan dirinya kepada Kiblat dengan penuh yakin. Hal ini disebut sebagai “Ainul Ka’bah”. Dan kewajiban ini dapat dipastikan terlebih dahulu dengan cara melihat atau menyentuhnya bagi orang yang buta atau menggunakan cara yang lain misalnya melalui indra  pendengaran. Sedangkan bagi seseorang yang berada dalam bangunan Ka’bah itu sendiri maka kiblatnya adalah dinding Ka’bah.
2.      Menghadap Kiblat Perkiraan (Kiblat Dzan)
Seseorang yang berada jauh dari Ka'bah yaitu berada diluar Masjidil Haram atau di sekitar tanah suci Mekkah sehingga tidak dapat melihat bangunan Ka’bah, mereka wajib menghadap ke arah Masjidil Haram sebagai maksud menghadap ke arah Kiblat secara dzan atau kiraan atau disebut sebagai “Jihadul Ka’bah”. Untuk mengetahuinya dapat dengan bertanya kepada  yang mengetahui tentang hal tersebut seperti penduduk Mekkah atau dengan melihat tanda-tanda kiblat atau “shaff” yang sudah dibuat di tempat–tempat tersebut.
3.      Menghadap Kiblat Ijtihad (Kiblat Ijtihad)
Ijtihad arah kiblat digunakan seseorang yang berada di luar tanah suci Mekkah atau bahkan di luar negara Arab Saudi. Bagi yang tidak mengetahui arah kiblat dan ia tidak dapat memperkirakan Kiblat Dzan nya maka ia diperbolehkan menghadap kemanapun yang diyakini sebagai arah kiblat. Namun apabila ia dapat memperkirakan arah kiblat maka ia wajib berijtihad terhadap arah kiblatnya. Ijtihad dapat digunakan untuk menentukan arah kiblat dari suatu tempat yang terletak jauh dari Masjidil Haram. Diantaranya adalah ijtihad menggunakan posisi rasi bintang, bayangan matahari, arah matahari terbenam dan perhitungan segitiga bola maupun pengukuran menggunakan peralatan.[13]




BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
A.    Menutup aurat disyaratkan dalam sholat bertujuan untuk menjaga aurat ketika menghadap Allah SWT. Dan dalam sholat kita harus menggunakan pakaian yang tidak hanya sekedar bersih, namun juga harus suci dari najis maupun hadas.
B.     Semua ulama mazhab sepakat bahwa ka’bah itu adalah kiblat bagi orang-orang yang dekat dan dapat melihatnya. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang kiblat bagi orang yang jauh dan tidak dapat melihatnya. Imam Hanafi, Hambali, Maliki dan sebagian kelompok dari imamiyah : Kiblatnya orang yang jauh adalah arah di mana letaknya Ka’bah berada, bukan Ka’bah itu sendiri, baik untuk orang yang dekat dengan Ka’bah maupun bagi orang yang jauh dari Ka’bah. Jika ia dapat mengetahui arah Ka’bah itu secara tepat, maka ia harus menghadapnya dan jika tidak, maka cukup dengan diperkirakan saja.














DAFTAR PUSTAKA
Ulfah, Isnatin. Fiqih Ibadah. Stain Po Press.
Misbah asy-Syariah, bab ke-7 Shalat Ahli Makrifat, Imam Rahullah al-Musawi al-Khumaini, terbitan Muassasah Tanzhim wa Nasyr Turats al imam al-Khumaini, Teheran, 1995 (Pustaka Hidayah)
Djazuli, A. Zainuddin. FIQQIH LINTAS MADZHAB juz 1 (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali). (Pengasuh PP, Al Fallah Ploso Kediri), Kediri 23 November 2011.
Qadir, Abdul. Panduan lengkap Shalat Menurut Empat Madzhab. Ar-Rahbaw. (Pustaka Al-Kautsar). bab Shalat.
M.  Mughniyah, Jawad.  Fiqih Lima Mazhab, (Penerbit Lentera bekerja sama dengan Penerbit Shaf).



[1] [1] Misbah asy-Syariah, SHALAT AHLI MAKRIFAT, Imam Rahullah al-Musawi al-Khumaini, terbitan Muassasah Tanzhim wa Nasyr Turats al imam al-Khumaini. Teheran. (PUSTAKA HIDAYAH, 1995).
[2] Al-Qur’an
[3] Zainuddin Djazuli, FIQQIH LINTAS MADZHAB juz 1 (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali),  (Pengasuh PP, Al Fallah Ploso Kediri), Kediri 23 November 2011,  hlm 90-91.
[4] https://rawatjenazah.wordpress.com/2009/11/05/menutup-aurat-saat-hendak-shalat/
[5] Al-Qur’an
[6] Al-Quran
[7] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Penerbit Lentera bekerja sama dengan Penerbit Shaf), hlm. 101.
[8]   FIQQIH LINTAS MADZHAB juz 1 (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali), Bab VI SHALAT. hlm 94.
[9] Isnatin Ulfah, FIQIH IBADAH. (Stain Po Press). hlm 64. (Tim Penyusun, Ensiklopedia islam, vol.3 , Jkt ; PT. Ikrar Mandiriabadi,2001),66
[10] Syaikh Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Panduan lengkap Shalat Menurut Empat Madzhab,  (Pustaka Al-Kautsar. bab Shalat),  hlm 210-212.
[11] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab ..., hlm. 102.
[12] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab ..., hlm.103.
[13] Jonesdot.blogspot.co.id/2015/02/makalah-ilmu-falaq-penentuan-arah.html?m=1

Tidak ada komentar:

Entri yang Diunggulkan

KAMMI IAIN Ponorogo gelar penggalangan dana

Organisasi KAMMI gelar penggalangan dana untuk membantu korban Gempa di Lombok Kader KAMMI Daerah Ponorogo menggalang dana untuk membantu...