BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Zakat merupakan
salah satu bagian dari rukun islam. Diantaranya yaitu syahadat, shalat, zakat,
puasa, dan naik haji. Sebagai seorang muslim tentunya kita wajib dalam
mengeluarkan zakat. Dalam hal tersebut harus sesuai dengan ketentuan dan
peraturan yang telah ditetapkan Allah dan para Rasul dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Zakat telah disebutkan dalam Al-Qur’an secara ringkas, bahkan lebih ringkas
lagi seperti halnya shalat. Al-Qur’an tidak menyebutkan harta apa saja yang
wajib dizakatkan, tidak menyebut berapa besar zakat itu, dan apa
syarat-syaratnya. Seperti syarat haul (genap setahun), atas nisab, dan gugurnya
wajib zakat sebelum nisab. Kemudian datanglah sunah sebagai penjabaran
pelaksanaan, baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Oleh karena itu
kita wajib beriman kepada sunah-sunah Nabi. Baik sebagai sumber syariat dan hukum islam
setelah Al-Qur’an. Sumber tersebut bersifat memberi keterangan perincian dan
ketentuan. Dari penjelasan di atas maka penulis akan membahas lebih lanjut
berkenaan dengan mustahiq zakat atau bagian yang berhak mendapatkan zakat
berdasarkan mazhab.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan zakat?
2.
Siapa saja yang termasuk dalam mustahiq zakat?
1
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Zakat
Zakat menurut bahasa ialah bertumbuh (al-mumuww), seperti
pada lafadz zaka al-zar’u; bertambah banyak dan mengandung berkat, seperti
pada lafadz zaka al-malu; dan suci (thaharah), seperti pada nafsan zakiyah,
dan qad aflaha man zakkaha. Menurut istilah syara’, zakat ialah sejumlah
harta yang dikeluarkan dari jenis harta tertentu dan diberikan kepada
orang-orang yan tertentu, denga syarat-syarat yan telah ditetapkan pula.[1] Ajaran
zakat dalam Islam memiliki filosofi yang sangat tinggi, mempunyai makna yang
jauh lebih mendasar. Diwajibkan zakat dengan tujuan di samping untuk
membersihkan harta kekayaan yang dimilikinya, juga untuk menghilangkan suatu
kondisi di mana kekayaan hanya dikuasai oleh sekelompok orang-orang kaya
semata. Allah sangat tidak menyukai adanya hal tersebut.[2]
Dengan zakat, di samping ikrar tauhid (syahadat) dan shalat, seseorang barulah
sah masuk ke dalam barisan umat Islam dan diakui keislamannya, sesuai dengan
firman Allah:

“Tetapi
bila mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan membayar zakat, barulah mereka
saudara kalian seagama.” [3]
2.
Mustahiq Zakat Menurut Ulama-ulama
Mustahiq berasal dari kalimat haqqo yahiqqu hiqqon wa hiqqotan yang
artinya kebenaran, hak, dan kemestian. Seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an
menyebutkan ada 8 golongan
orang yang berhak menerima zakat. [4]
Firman Allah SWT:

“Sesungguhnya
zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para muallaf yng dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan)
budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, an orang-orang yang sedang
dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah.”[5]
a)
Fakir adalah orang
yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi
penghidupannya.[7]
1.
Mazhab Hanafi:
fakir adalah orang yang mempunyai harta kurang dari satu nisab, atau mempunyai
satu nisab atau lebih, tetapi habis untuk keperluannya.
2.
Mazhab Maliki:
fakir adalah orang yang
mempunyai harta, sedangkan hartanya tidak mencukupi untuk keperluannya dalam
masa satu tahun. Orang yang mencukupi dari penghasilan tertentu tidak diberi
zakat. Orang yang punya penghasilan tidak mencukupi diberi sekadar untuk
mencukupi.
3.
Mazhab Hambali: fakir adalah
orang yang tidak mempunyai harta atau mempunyai harta kurang dari
seperdua keperluannya.
4.
Mazhab Syafi’i: fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta dan
usaha atau mempunyai harta dan usaha yang kurang dari seperdua kecukupannya dan
tidak ada orang yang berkewajiban memberi belanjanya.
b)
Miskin adalah orang
yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.[8]
Kebutuhan yang dimaksudkan adalah
makanan, minuman, pakaian, dan lain-lain.
1.
Mazhab Hanafi:
miskin adalah orang yang
tidak mempunyai sesuatu pun.
2.
Mazhab Maliki: miskin adalah tidak mempunyai sesuatu pun.
3.
Mazhab Hambali: miskin adalah yang mempunyai harta seperdua
keperluanya atau lebih, tetapi tidak mencukupi.
4.
Mazhab Syafi’i: miskin adalah orang yang mempunyai harta seperdua
tetapi tidak bisa mencukupi kebutuhanya. Firman Allah SWT:

“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang
terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi;
orang yang tidak tahu menyangka mereka oang kaya karena memelihara diri dari
minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak
meminta kepada orang secara menesak. Dan apa saja harta baik yang kamu
nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”[9]
Syarat-syarat ‘amil zakat yaitu:
I.
Hendaklah dia
seorang muslim.
II.
Hendakah
petugas zakat itu seorang mukallaf, yaitu orang dewasa yang sehat akal fikirannya.
III.
Petugas zakat
itu hendaklah orang jujur.
IV.
Memahami
hukum-hukum zakat.
V.
Kemampuan untuk
melaksanakan tugas.
VI.
‘Amil zakat
disyaratkan laki-laki. Mereka tidak membolehkan wanita dipekerjaan sebagai
‘amil zakat, karena pekerjaa itu menyangkut urusan sedekah. Pendapat tersebut
tidak mengemukakan alasan kecuali kata-kata Nabi s.a.w. yangberbunyi:[11] “Tidaklah kan berhasil suau kaum bila urusan
mereka diserahkan kepada perempuan.”
VII.
Sebagian ulama
mensyaratkan ‘amil itu orang merdeka bukan seorang hamba. Mereka kemukakan satu
hadits riwayat Ahmad dan Bukhari, yaitu Rasululah s.a.w. bersabda:[12] “Dengarlah oleh kalian dan taatilah. Walaupun
yang memerinahkan kamu seorang budak yang rambutnya kriting seperti kismis.”
1.
Mazhab Hanafi:
‘amil adalah orang-orang
yang bekerja melaksanakan segala kegiatan urusan zakat, mulai dari para
pengumpul sampai kepada bendahara, dan para penjaganya.
2.
Mazhab Maliki: ‘amil adalah pengurus zakat, pencatat, pembagi,
penasihat, dan sebagainya yang bekerja untuk kepentingan zakat.
3.
Mazhab Hambali: ‘amil adalah pengurus zakat dia diberi zakat
sekadar upah pekerjaannya (sepadan dengan upah pekerjaannya).
4.
Mazhab Syafi’i: ‘amil adalah semua orang yang bekerja mengurus
zakat, sedangkan dia tidak mendapat upah selain dari zakat itu.
d)
Muallaf adalah orang kafir yang ada harapan masuk
Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.[13]
1.
Mazhab Hanafi:
muallaf adalah mereka yang
diharapkan kecenderungan hatinya atau keyakinannya dapat bertambah terhadap Islam.
2.
Mazhab Maliki: muallaf adalah sebagian mengatakan bahwa orang kafir
yang ada harapan untuk masuk agama Islam. Sebagian yang lain mengatakan bahwa
orang yang baru memeluk agama Islam.
3.
Mazhab Hambali: muallaf adalah orang yang mempunyai pengaaruh di
sekeilingnya, sedangkan ia ada harapan masuk Islam, ditakuti kejahatannya,
orang Islam yang ada harapan imannya akan bertambah teguh atau ada harapan
orang lain akan masuk Islam karena pengaruhnya.
4.
Mazhab Syafi’i: muallaf adalah orang yang baru memeluk Islam.
Dengan beralasan bahwa Allah SWT telah menjadikan zakat kaum muslimin untuk
dikembalikan pada kaum muslimin, bukn diberikan kepada orang yang berlainan
agama.
e)
Hamba adalah memerdekakan
budak, yang mencakup juga untuk melepaskan muslim yang ditawan oleh orang-orang
kafir.[14]
Allah SWT berfirman:

“ Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian
(diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak
yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanian
dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan
pada mereka,
dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya
kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan
pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak
mencari keuntungan duniawi. Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka
sesunguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka)
sesudah mereka dipaksa itu.”[15]
1.
Mazhab Hanafi:
hamba adalah ang telah
dijanjikan oleh tuannya bahwa dia boleh menebus dirinya dengan uang tau dengan
harta lain.
2.
Mazhab Maliki: hamba adalah hamba muslim yang dibeli dengan uang
zakat dan dimemerdekakan. Mazhab Maliki mengakatan, “Para budak itu hendaknya
dibeli dengan bagian zakat yang mereka terima sehingga mereka bisa merdeka
karena setiap kali kata perbudakan disebutkan di dalam Al-Qur’an, di tempat itu
juga ada anjuran bahwa mereka hendaknya dimemerdekakan.
3.
Mazhab Hambali: hamba adalah hamba yang telah dijanjikan oleh
tuannya boleh menebus dirinya dengan uang yang telah ditentukan oleh tuannya
itu, ia diberi zakat sekadar penebus dirinya.
4.
Mazhab Syafi’i: hamba adalah hamba yang dijanjikan oleh tuannya
bahwa dia boleh menebus dirinya.
f)
Berutang adalah orang
yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup
membayarnya.[16]
1.
Mazhab Hanafi:
berutang adalah orang yang mempunyai utang, sedangkan jumlah hartanya di luar
hutang tidak cukup satu nisab; dia diberi zakat untuk membayar hutangnya.
2.
Mazhab Maliki:
berutang adalah adalah orang
yang berutang, sedangkan hartanya tidak mencukupi untuk membayar utangnya;
utangnya dibayar dari zakat kalau dia berutang bukan untuk sesuatu yang fasad (jahat).
3.
Mazhab Hambali: berutang menurut Hambali ada dua macam yaitu (a)
orang berutang untuk mendamaikan orang lain yang berselisih, (b) orang yang
berutang untuk dirinya sendiri pada pekerjaan yang mubah atau haram, tetapi dia
sudah taubat. Maka ia diberi zakat sekadar hutangnya.
4.
Mazhab Syafi’i: berutang ada tiga macam:
i.
Orang yang berutang karena mendamaikan dua orang yang sedang
berselisih.
ii.
Untuk kepentingan dirinya sendiri, pada keperluan mubah atau tidak
mubah tetapi dia sudah taubat.
iii.
Untuk menjamin hutang orang lain, sedangkan dia dan orang yang
dijaminnya itu tidak dapat membayar hutang. Point (ii dan iii) diberi zakat
kalau tidak mampu membayar hutangnya. Sedangkan yang (i) diberi, sekalipun dia
kaya.
g)
Fi sabilillah adalah orang-orang yang berperang (ghuzat) di jalan Allah secara suka rela, tanpa mendapatkan gaji
dari pemerintah. Yaitu keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin.[17]
1.
Mazhab Hanafi: fi sabilillah adalah balatentara yang berperang di
jalan Allah.
2.
Mazhab Maliki: fi sabilillah adalah balatentara dan mata-mata.
3.
Mazhab Hambali: fi sabilillah adalah sukarelawan yang berperang dan
tidak memiliki gaji tetap atau memiliki akan tetapi tidak mencukupi kebutuhan.
4.
Mazhab syafi’i: fi sabilillah adalah mereka itu sukarelawan yang
tidak mendapat tunjangan tetap dari pemerintah atau seperti kata Abu Hajar,
mereka yang tidak mendapat bagian dalam daftar gaji, tetapi mereka semat-mata
sukarelawan; mereka berperang bila sehat dan kuat, dan bila tidak, mereka
kembali pada pekerjaan asalnya.
h)
Musafir adalah orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat
mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.[18] Orang
musafir dapat diberi bagian zakat, dengan syarat:
i.
Perjalanannya itu tidak ditujukan untuk kemaksiatan.
ii.
Sedang membutuhkan sesuatu yang dapat menyampaikan ke negerinya.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

“Dan berikanlah kepada
keluarga-keluargayang dekat, akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang
dalam perjalanan; dan janganlah kamu mengahambur-hamburkan (hartamu) secara
boros.”[19]
1.
Mazhab Hanafi: musafir adalah orang yang dalam perjalanan,
kehabisan perbekalan. Orang ini diberi sekadar untuk keperluannya.
2.
Mazhab Maliki: musafir adalah orang yang dalam perjalanan,
sedangkan ia memerlukan biaya untuk pulang ke negerinya dengan syarat keadaan
perjalanannya bukan maksiat.
3.
Mazhab Hambali: musafir adalah orang yang kehabisan bekal dalam
perjalanan yang halal. Musafir diberi sekadar cukup untuk biaya pulangnya.
4.
Mazhab Syafi’i: musafir adalah orang yang terputus bekalnya dan
juga termasuk orang yang bermaksud melakukan perjalanan yang tidak mempunyai
bekal. Keduanya diberi untuk memenuhi kebutuhan, karena perjalanan yang
dimaksud bukan untuk maksiat, adalah menyerupai orang yang bepergian yang
kehabisan bekal; karena kebutuhan keduanya terhadap biaya perjalanan, walaupun penggunaan
Ibnu Sabil untuk makna yang kedua ini berdasarkan ungkapan majaz.
Sebagaimana telah dijelaskan di awal bahwa ajaran zakat merupakan
salah satu tiang agama Islam yang sangat penting serta memiliki nilai sosial
yang sangat tinggi. Karena peranannya langsung behubungan dengan upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam persoalan pembagian zakat ini
mungkin di suatu daerah tertentu tidak didapatkan delapan golongan sebagaimana
yang dinyatakan dalam surat At-Taubah ayat 60. Di samping hal tersebut
kemungkinan sekali di suatu negeri tertentu yang karena keadaan perekonomiannya
sudah sangat maju, sehingga tidak bia lagi didapatkan satu golonganpun dari
mereka yang berhak menerima pembagian zakat. Jika kondisinya seperti ini maka
tidak ada larangan sama sekali kalau seandainya hasil pengumpulan zakat itu dibagikan
ke daerah-daerah yang memang kondisinya lebih membutuhkan .[20]
BAB III
KESIMPULAN
1.
Zakat adalah satu rukun yang bercorak sosial-ekonomi dari lima
rukun islam. Dengan zakat, di samping ikrar tauhid (syahadat) dan shalat,
seseorang barulah sah masuk ke dalam barisan umat Islam dan diaku keislamannya.
2.
Ada delapan ashnaf yang menjadi mustahiq zakat. Ashnaf tersebut
sesuai dengan A-Qur’an dan Hadits Allah dan para Rasul. Delapan ashnaf antara
lain:
1)
Fakir: orang yang tidak memiliki
harta ataupun usaha yang memadai, sehingga sebagian besar kebutuhannya tidak
dapat dipenuhinya.
2)
Miskin: orang yang memiliki harta atau usaha yang dapat menghasilkan
sebagian kebutuhannya tetapi tidak mencukupi.
3)
‘Amil: orangorang yang mendapat tugas untuk mengurus zakat.
4)
Muallaf: orang-orang yang hatinya diijinkan untuk memahami Islam.
5)
Hamba: budak yang dijanjikan akan merdeka bila membayar sejumlah harta
kepada tuannya.
6)
Berutang: orang yang mempunyai utang, baik untuk memenuhi dirinya sendiri,
kepentingan mendaaikan perselisihan, maupun untuk menjamin hutang orang lain.
7)
Fi sabilillah: orang-orang yang berperang (ghuzat) di jalan Allah secara suka rela, tanpa mendapatkan gaji
dari pemerintah.
8)
Musafir: orang yang sedang atau akan melakukan perjalanan, orang
musafir dapat diberi bagian zakat.
Berdasarkan
mazhab dari Imam Syafi’i dan para jumhur ulama (Hanafi, Maliki, dan Hambali)
zakat harus diberikan kepada delapan ashnaf atau golongan. Dari kedelapan
ashnaf tersebut yang paling diutamakan adalah fakir dan miskin. Karena hal
tersebut juga bertujuan untuk menanggulangi kemiskinan yang masih dapat kita
jumpai di lingkungan masyarakat. Dan apabila dari delapan ashnaf saat pembagan
zakat hanya ada beberapa saja, maka zakat dapat dibagikan kepada yang ada saja.
11
DAFTAR PUSTAKA
Qardawi,
Yusuf. 2011. Hukum Zakat. Bogor:
Pustaka Litera AntarNusa.
Rasjid,
Sulaiman. 2016. Fiqh Islam. Bandung:
Sinar Baru Algensindo.
Al-Zuhayly,
Wahbah. Maret 2008. Zakat: Kajian Berbagai Mazhab. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Ulfah,
Isnatin. 2009. Fiqih Ibadah: Menurut Al-Qur’an, Sunnah, dan Tinjauan
Berbagai Mazhab. PENERBIT STAIN Po PRESS.
Pasha,
Musthafa Kamal. 2003. Fikih Islam.
Yogyakarta: Penerbit Citra Karsa Mandiri.
Pamungkas,
Imam, dan Maman Surahman. 2015. FIQIH 4 Madzhab. Ciracas-Jakarta Tmur:
Al-Makmur.
[1] Isnatin Ulfah,
Fiqih Ibadah (Ponorogo: PENERBIT STAIN Po PRESS, 2016), 105.
[2] Wahbah
Al-Zuhayly, Zakat: Kajian Berbagai Madzhab (Bandung: PT Remajga Rosdakarya),
112.
[3] QS. At-Taubah,
9:11
[4] Isnatin Ulfah,
M.H.I, Fiqih Ibadah (Ponorogo: PENERBIT STAIN Po PRESS, 2016), 142. 2
[6] H. Sulaiman
Rasjid, Fiqh Islam, cet. Ke-76 (Bandung: Sinar Baru Aladgesindo,
November 2016), 211-215.
[7] M. Imam
Pamungkas, M.Ag dan H. Maman Surahman, Lc. M.Ag, FIQIH 4 Madzhab, cet. Pertama
(Jakarta: Al-Makmur, 2015), 167.
3
[8] Ibid., 167.
[9] QS.
Al-Baqarah: 273.
[10] Ibid., 167.
4
[11] DR. Yusuf
Qardawi, Hukum Zakat, cet. Ke-12, 2011, 554.
[12] Ibid., 555.
[13] Ibid., 167.
5
[14] Ibid.
[15] QS. An-Nur:
24:33
6
[16] Ibid., 167.
7
[17] Ibid.
[19] QS. Al-Isra’: 26.
9
[20] Drs. Musthafa
Kamal Pasha, B.Ed., Fikih Islam, cet. Ketiga (revisi), 2003, 477.
10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar