Kamis, 25 Januari 2018

puasa ramadhan dalam perbandingan empat madzhab

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Sebagai umat muslim puasa Ramadhan adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan karena puasa merupakan salah satu rukun Islam, tetapi faktanya sebagian umat muslim yang tidak melaksanakan puasa Ramadhan dikarenakan mereka belum mengetahui manfaat dan hikmah puasa Ramadhan. Jika kita sudah menjalankan puasa Ramadhan satu bulan penuh tetapi tidak mendapatkan pahala sangatlah rugi bagi kita. Hal ini sangat jelas bahwa ajaran agama Islam mengajarkan berbagai ajaran,bukan hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT begitu saja, namun didalamnya juga mempunyai arti yang begitu dalam sebagai puasa Ramadhan. Dan bagaimaana melaksanakan puasa Ramadhan yang baik dan benar menurut para ulama akan saya jelaskan pada makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah Pengertian puasa itu?
2.      Apa dalil dalil wajibnya puasa Ramadhan?
3.      Apa sajakah syarat puasa Ramadhan?
4.      Apa sajakah rukun puasa Ramadhan?
5.      Apa sajakah hal hal yang membatalkan puasa Ramadhan?
Apa saja orang yang boleh tidaknya berpuasa?dan Bagaiman cara menggantinyaBAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Puasa
Puasa juga dikenal dengan sebutan ”syiam” atau “shaum” berasal dari bahasa Arab. Secara lughawi syiam atau shaum berarti berpantang atau menahan diri dari sesuatu.
Dalam pengertian syar’i puasa adalah menahan hawa nafsu dari makan,minum dan hubungan seksual dari terbit fajar sampai terbenam matahari.[1]
Menurut Al Ragib, kata al-saum pada dasarnya berarti menahan diri dari perbuatan baik makan,berkata, maupun apa saja.
Sedangkan secara istilah Al-San’ani dalam kitab subul al salam memberikan ta’rif puasa:
“menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual dan lain lain yang telah diperintahkan menahan diri darinya sepanjang hari menurut cara yang disyari’atkan disertai pula menahan diri dari perkataan sia sia, porno dan perkataan perkataan lain baik yang haam maupun makruh pada waktu yang telah ditetapkan dan menurutsyarat yang telah ditentukan.”
Adapun definisi puasa menurut Yusuf Al Qardlawi adalah mencegah kemauan dari makan, minum, bersetubuh dengan istri sehari penuh mulai terbit fajar (waktu subuh) hingga terbenamnya matahari(waktu maghrib) dengan niat tunduk dan mendekatkan diri dari Allah SWT.[2]

B.     Dalil Dalil Wajib Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan merupakan puasa fardlu dan termasuk salah satu dari rukun Islam. Tentang kewajiban puasa Ramadhan didasarkan Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 183-185
“Hai orang orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari hari yang lain. Dan wajib bagi orang orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapayang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itulah) bulan Ramadhan bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil Karena itu barangsiapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (ia berbuka), maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur.” (Al-Baqarah ayat 183-185)
C.     Syarat puasa Ramadhan
1.      Islam. Oleh karena itu menurut Hanafiyah orang kafir tidak wajib puasa dan menurut jumhur jika orang kafir menjalankan puasa maka puasanya tidak sah.
2.      Berakal. Orang gila tidak wajib berpuasa.
3.      Baligh. Oleh karena itu anak anak tidak berkewajiban berpuasa. Syarat poin poin a dan b didasarkan pada hadist riwayat Ali R.A, Nabi bersabda:
“Tiga orang terlepas dari hukuman, yaitu orang yang tidur sehingga ia bangun,orang gila sampai ia sembuh dan anak anak sampai ia baligh”. (HR. Ahmad, Abu dawud dan Turmudzy).[3]
Empat Imam Madzhab sepakat bahwa anak kecil yang belum mampu berpuasa dan orang gila yang terus menerus tidak dikenai kewajiban berpuasa. Tetapi anak kecil itu hendaknya diperintah mengerjakannya jika sudah berumur tujuh tahun dan dipukul jika tidak berpuasa pada umur sepuluh tahun.[4]
4.      Kuat berpuasa. Orang yang tidak kuat, misalnya karena sudah tua atau sakit, tidak wajib berpuasa.
5.      Suci dari darah Haid (kotoran) dan Nifas (darah sehabis melahirkan). Orang yang Haid atau Nifas itu tidak sah berpuasa tetapi keduanya wajib mengqadha (membayar) puasa yang tertinggal itu secukupnya.
Dari Aisyah R.A ia berkata ”kami disuruh oleh Rasulullah SAW, mengqadha puasa dan tidak disuruhnya mengqada shalat” (HR. Bukhari).[5]

D.    Rukun Puasa Ramadhan.
1.      Niat
Karena puasa merupakan salah satu ibadah mahdlah maka ia tidak sah tanpa niat,hukum dan dalil dalil berkenaan dengan niat ibadah puasa sama dengan yang telah dijelaskan pada pembahasan niat pada wudlu, tayamum, mandi dan shalat.
Hanya saja perlu dijelaskan disini bahwa niat puasa wajib, mesti dilakukan pada malam hari sesuai dengan hadits Hafsah. Rasulullah bersabda “ Barang siapa yang tidak berniat pada malam hari sebelum fajar maka tidak sah puasanya”. (HR. Ahmad dan Ashab a Sunan).[6]
Para Imam Madzhab sepakat mengenai wajibnya niat dalam berpuasa ramadhan. Dan puasa tidak sah kecuali dengan niat. Namun para Imam Madzah berbeda pendapat tentang mengucapkan niat, menurut pendapat Syafii, Maliki, dan Hanbali: Wajib diucapkan. Adapun menurut pendapat Hanafi:Tidak wajib. Oleh karena itu jika seseorang berniat puasa tanpa mengucapkan, misalnya ini puasa ramadhan atau puasa sunnah, maka puasanya adalah Sah.[7]
2.      Menahan diri dari segala yang membatalkan sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari.
E.     Hal hal yang membatalkan puasa
1.      Makan dan Minum
Firman Allah SWT.
Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitamyaitu fajar” (Al-Baqarah 187)
            Makan dan minum yang membatalkan puasa ialah apabila dilakukan dengan sengaja, kalau tidak disengaja misalnya lupa, tidak membatalkan puasa. Sabda dari Rasulullah SAW:
“Barang siapa lupa, sedangkan ia dalam keadaan puasa kemudian ia makan dan minum maka hendaklah puasanya disempurnakan karena sesungguhnya Allah lah yang memberinya makan dan minum”. (HR. Bukhari dan Muslim).
            Memasukkan sesuatu ke dalam lubang yang ada pada badan seperti lubang telinga, hidung, dsb, menurut sebagian ulama sama dengan makan dan minum artinya membatalkan puasa. Mereka mengambil alasan qias, diqiaskan (disamakan)  dengan makan dan minum. Ulama yang lain berpendapat bahwa hal itu tidak membatalkan puasa karena tidak dapat diqiaskan dengan makan dan minum. [8]Menurut pendapat yang kedua itu, kemasukan air sewaktu mandi tidak membatalkan puasa begitu juga memasukan obat melalui lubang badan selain mulut, suntik dsb, tidak membatalkan puasa karena yang demikian tidak dinamakan makan dan minum.
2.      Bersetubuh. Firman Allah SWT,
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri isteri kamu”. Al-Baqarah 187.
            Laki laki yang membatalkan puasanya dengan bersetubuh di waktu siang hari di bulan ramadhan,sedangkan ia berkewajiban puasa, maka ia wajib membayar kifarat. Kifarat ini ada 3 tingkat, yang pertama memperdekakan hamba, yang kedua (kalau tidak sanggup memerdekakan hamba) puasa 2 bulan berturut turut, yang ketiga bersedekah dengan makanan yang mengenyangkan kepada 60 fakir miskin, tiap orang ¾ liter.
3.      Gila. Jika gila itu datang waktu siang hari, batallah puasa
4.      Keluar mani dengan sengaja karena bersentuhan dengan perempuan atau yang lainnya. Keluar mani itu adaalah puncak yang dituju orang pada persetubuhan maka hukumnya disamakan dengan bersetubuh. Adapun keluar mani karena bermimpi, menghayal, dsb tidak membatalkan puasa.[9]
5.      Jika seseorang sengaja muntah, Maliki dan Syafii mengatakan: puasanya batal. Hanafi berpendapat: tidak batal, kecuali jika muntah tersebut memenuhi rongga mulutnya. Dari hambali diperoleh dua riwayat yang paling masyur: tidak batal, kecuali muntahnya banyak hingga mengotori dirinya.
Ibn Abbas R,A dan Ibn Umar R,A berpendapat: tidak batal melainkan jika berusaha menimbulkan muntah. Kalau muntah itu terjadi sendiri maka tidak batal.
Sedangkan jika muntahnya ditahan, maka puasanya tidak batal. Demikian menurut Ijma. Dalam salah satu riwayat al Hasan berpendapat bahwa yang demikian membatalkan puasa.[10]
6.      Haid. Jika orang perempuan berpuasa kemudian datang haid, maka puasanya menjadi batal.
7.      Nifas (hukumnya sama dengan haid).

8.      Riddah. Orang yang berpuasa kemudian ia melakukan tindakan murtad, maka puasanya menjadi batal.[11]

F.      Orang orang yang boleh tidaknya berpuasa dan cara menggantinyaa.
1.      Orang sakit.
Sakit dibagi tiga macam yaitu:
a.       Sakit ringan yaitu sakit yang tidak memberikan pengaruh terhadap puasa demikian pula berbuka tidak memberikan keringanan kepadanya. Seperti: flu yang ringan, pusing yang ringan, sakit gigi, dsb, maka dalam kondisi seperti ini seorang tidak diperbolehkan berbuka.
b.      Sakit ringan yang bertambah parah yaitu awalnya sakit ringan kemudian bertambah parah dan seorang merasa berat untuk berpuasa, akan tetapi puasa tersebut tidak berdampak negatif terhadap kesembuhan, maka dalam kondisi seperti ini seorang dianjurkan untuk berbuka.
c.       Sakit berat yaitu sakit yang menyebabkan seseorang merasa berat melakukan puasa dan berpuasa dapat berakibat buruk terhadap seseorang bahkan dapat mengantarkan kepada kematian, maka dalam kondisi seperti ini seorang diwajibkan berbuka karena haram baginya untuk berpuasa.[12]
2.      Orang safar
Dalil bolehnya orang yang sakit dan orang yang safar untuk tidak berpuasa dan menggantinya pada hari yang lain adalah Firman Allah SWT:
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka), maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari hari yang lain” (Al-Baqarah 185)
Safar dibagi menjadi tiga macam yaitu:
a.       Safar yang dilakukan membuat seseorang berat untuk melakukan puasa dan menghalanginya untuk melakukan kebaikan.
Maka ketika itu berbuka lebih baik bagi dirinya. Diantara nya hadits dari Jabir bin Abdillah ia berkata:
“Suatu ketika Rasulullah berada dalam perjalanan lalu beliau melihat sekelompok orang yang berdesakan dan orang yang sedang diteduhi, lalu beliau bertanya ,’Apa ini?’ mereka menjawab ‘ia sedang berpuasa’ kemudian Rasulullah bersabda “Belum termasuk kebaikan (baginya) berpuasa didalam perjalanan” (HR Bukhari)
b.      Safar yang dilakukan tidak membuat seseorang merasa berat untuk berpuasa dan tidak menghalanginya untuk melakukan kebaikan.
Maka berpuasa lebih baik baginya daripada berbuka, berdasarkan Firman Allah SWT:
“Dan berpuasa lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui”(Al-Baqarah 184)
c.       Safar yang dilakukan membuat seseorang merasa berat untuk berpuasa dan dapat menyebabkan kematian. Maka ketika itu wajib berbuka dan haram baginya berpuasa.
3.      Orang yang sudah tua
Orang yang tidak mampu berpuasa, maka tidak ada qadha’ baginya, tetapi hanya diwajibkan membayar fidyah (memberi makan orang miskin) sebagaimana Firman Allah SWT:
“Dan wajib bagi orang orang yang berat menjalankan (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah yaitu memberi makan seorang miskin” (Al-Baqarah 184)[13]
Dari Ibu Abbas:
“Orang tua lanjut usia diberi keringanan untuk tidak berpuasa dan memberi makan setiap hari untuk seorang miskin dan tidak ada qadha baginya”(HR. Daruqthni).
4.      Wanita hamil dan menyusui
Wanita yang sedang hamil dan menyusui, jika mereka tidak mampu untuk berpuasa atau khawatir akan anak anaknya bila mereka berpuasa, maka boleh baginya mereka untuk berbuka dan wajib atas mereka untuk membayar fidyah, tetapi mereka tidak wajib mengqadha’.  Dari Ibnu Abbas ia berkata:
“Jika wanita hamil khawatir akan dirinya, begitu pula wanita yang menyusui khawatir akan anaknya disaat bulan Ramadhan, maka boleh bagi mereka berdua untuk berbuka, kemudian memberi makan orang miskin setiap hari dari hari hari yang ia tinggalkan dan tidak wajib atas mereka untuk mengqadha’ puasa”. (HR Thabrani).[14]













BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Pengertian Puasa
Puasa juga dikenal dengan sebutan ”syiam” atau “shaum” berasal dari bahasa arab. Secara lughawi syiam atau shaum berarti berpantang atau menahan diri dari sesuatu.
Dalam pengertian syar’i puasa adalah menahan hawa nafsu dari makan,minum dan hubungan seksual dari terbit fajar sampai terbenam matahari.
2.      Dalil Dalil Wajib Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan merupakan puasa fardlu dan termasuk salah satu dari rukun Islam. Tentang kewajiban puasa Ramadhan didasarkan Al-Qur’an surat al-Baqarah: 183-185. Yang sudah dijelaskan diatas
3.      Syarat Syarat puasa ramadhan
a.       Islam.
b.      Berakal.
c.       Baligh.
d.      Kuat berpuasa.
e.       Suci dari darah haid atau nifas.
4.      Rukun puasa
a.       Niat.
b.      Menahan diri dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari.
5.      Hal hal yang membatalkan puasa
a.       Makan dan minum.
b.      Bersetubuh.
c.       Gila saat berpuasa.
d.      Keluar mani.
e.       Muntah.
f.       Darah haid dan nifas.
g.      Riddah.
5.      Orang orang yang boleh tidaknya berpuasa dan cara menggantinyaa
a.       Orang sakit: mengganti pada hari lain
b.      Orang safar: mengganti pada hari lain
c.       Orang yang sudah tua: membayar fidyah
d.      Wanita hamil dan menyusui: membayar fidyah tetapi tidak wajib mengganti di hari lain
















DAFTAR PUSTAKA

Yudi prahara,Erwin. Ilmu Fiqih I,II. Ponorogo:Lembaga masyarakat IAIN ponorogo. 2016

Ulfah, Isnatin. Fiqih Ibadah menurut Al-Quran, sunnah dan tinjauan berbagai madzhab. Ponorogo:Stain Press Ponorogo. 2009
Rasjid,Sulaiman. Fiqih Islam. Bandung:Sinar baru algesindo. 2016

Syaikh al-Allamah muhammad bin abdurrahman ad-dimasyqi. Fiqih empat madzhab. Bandung:Hasyimi press. 2010
Hafizhah,Abu. Ensiklopedi Fiqih Islam. Ponorogo: Pustaka Al-bayyinah. 2014



[1]Erwin yudi prahara, Ilmu Fiqih I,II(Ponorogo:Lembaga masyarakat IAIN ponorogo 2016) Hal 29
[2] Isnatin Ulfah,Fiqih Ibadah menurut Al-Quran, sunnah dan tinjauan berbagai madzhab,(Ponorogo:Stain Press Ponorogo 2009) Hal 153-154
[3] Isnatin Ulfah,Fiqih Ibadah menurut Al-Quran, sunnah dan tinjauan berbagai madzhab,(Ponorogo:Stain Press Ponorogo 2009) Hal 169
[4] Syaikh al-Allamah muhammad bin abdurrahman ad-dimasyqi, Fiqih empat madzhab,(Bandung:Hasyimi press 2010) Hal 155
[5] Sulaiman rasjid, Fiqih Islam, (Bandung:Sinar baru algesindo 2016) Hal 228
[6] Isnatin Ulfah,Fiqih Ibadah menurut Al-Quran, sunnah dan tinjauan berbagai madzhab,(Ponorogo:Stain Press Ponorogo 2009) Hal 175
[7] Syaikh al-Allamah muhammad bin abdurrahman ad-dimasyqi, Fiqih empat madzhab,(Bandung:Hasyimi press 2010) Hal 157
[8] Sulaiman rasjid, Fiqih Islam, (Bandung:Sinar baru algesindo 2016) Hal 230-231
[9] Sulaiman rasjid, Fiqih Islam, (Bandung:Sinar baru algesindo 2016) Hal 231 dan 233
[10] Syaikh al-Allamah muhammad bin abdurrahman ad-dimasyqi, Fiqih empat madzhab,(Bandung:Hasyimi press 2010) Hal 158
[11] Isnatin Ulfah,Fiqih Ibadah menurut Al-Quran, sunnah dan tinjauan berbagai madzhab,(Ponorogo:Stain Press Ponorogo 2009) Hal179
[12] Abu Hafizhah, Ensiklopedi Fiqih Islam, (Ponorogo: Pustaka Al-bayyinah 2014) Hal 450-451
[13] Abu Hafizhah, Ensiklopedi Fiqih Islam, (Ponorogo: Pustaka Al-bayyinah 2014) Hal 451-453
[14] Abu Hafizhah, Ensiklopedi Fiqih Islam, (Ponorogo: Pustaka Al-bayyinah 2014) Hal 453

Tidak ada komentar:

Entri yang Diunggulkan

KAMMI IAIN Ponorogo gelar penggalangan dana

Organisasi KAMMI gelar penggalangan dana untuk membantu korban Gempa di Lombok Kader KAMMI Daerah Ponorogo menggalang dana untuk membantu...