BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fiqih
menurut istilah adalah ilmu yang bertugas menentukan dan mengurai norma-norma
hokum atas dasar yang terdapat dalam al-Qur’an dan ketentuan-ketentuan umum
yang terdapat di dalam sunah Nabi yang direkam oleh kitab-kitab hadist, atau
ilmu yang berusaha memahami hokum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an dan
sunah Nabi Muhammad saw untuk diterapkan paa perbuatan manusia yang telah
dewasa yang sehat akalnya yang berkewajiban melaksanakan hukum Islam.
Saat
ini banyak orang di sekitar kita yang belum banyak mengetahui jenis-jenis najis
dan cara menyikapi najis tersebut. Seharusnya kita sebagai orang Islam berusaha
mengetahui tentang macam najis ataupun alat-alat yang digunakan untuk
menghilangkan najis tersebut agar nantinya dapat menjalankan ibadah dengan
sebaik-baiknya.
Dalam
makalah ini akan dibahas tentang najis, macam-macam najis beserta cara
mensucikannya dan macam-macam air menurut pandangan ulama.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian najis?
2.
Apa
macam-macam najis?
3.
Apa
contoh-contoh najis dan bagaimana cara mensucikannya?
4.
Apa
macam-maam air?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Najis
Secara bahasa najis berarti semua yang dipandang
kotor. Sedangkan secara istilah syara’ ialah setiap kotoran yang menghalangi
keabsahan sholat dalam tidak ada rukhshah (keringanan)[1].
Dari sumber lain diketahui bahwa definisi najis secara bahasa yaitu sesuatu
yang dianggap menjijikkan. Sedangkan menurut istilah fiqih najis artinya
sesuatu yang tidak boleh ditelan secara mutlak dalam keadan normal, serta mudah
dibedakan.[2]
Suatu barang (benda) menurut hokum aslinya adalah suci selama tak ada dalil
yang menunjukkan bahwa benda itu najis.[3]
2.
Macam-macam
Najis
a. Anjing
Menurut
Syafi’i, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal, anjing itu najis berdasarkan makna
yang dapat dipahami dari hadist Nabi saw “apabila
anjing menjilati bejana salah seorang dari kamu, hendaklah ia membuang isinya
dan mencuci bejana itu sebanyak tujuh kali, yang pertama dengan campuran tanah.”
(HR. Muslim)[4]
Akan
tetapi Malik dan Daud al-Dahiri berpendapat bahwa anjing adalah binatang suci
sama seperti binatang-binatang lainnya. Mereka berdalil dengan hadist dari Ibn
Umar r.a bahwa “anjing-anjing datang dan pergi
dalam masjid, di masa hidup Rasulullah saw, tak seorang punmerasa keberatan
tentang itu”. (HR. Bukhari)[5]
b. Babi
Semua
mazhab berpendapat bahwa hukumnya sama seperti anjing, kecuali mazhab Imamiyah
yang mewajibkan membasuh bejana yang terkena babi sebanyak tujuh kali dengan
air saja.[6]
c. Bangkai
Adapun
bangkai ikan dan binatang darat yang tidak berdarah, begitu juga mayat manusia,
tidak masuk dalam arti bangkai yang umum. Bagian bangkai, seperti daging,
kulit, bulu, dan lemaknya semuanya itu najis menurut mazhab Syafi’i. ini
berdasarkan ayat
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøyJø9$# .................... ÇÌÈ
yang
artinya “diharamkan bagimu (memakan)
bangkai.”[7]
menurut mazhab Hanafi, yang najis hanya bagian-bagian yang mengandung roh (bagian-bagian yang
bernyawa) saja, seperti daging dan kulit. Berdasarkan hadis Maimunah yang
artinya “sesungguhnya yang haram ialah
memakannya.” Pada riwayat lain ditegaskan bahwa yang haram ialah “dagingnya”. (Riwayat Jamaah Ahli
Hadis).[8]
d. Darah dan Nanah
Keempat
mazhab sepakat bahwa darah adalah najis. Baik ia darah yang mengalir atau
tertumpah, misalnya yang mengalir dari hewan yang disembelih, atau darah haid.
Dikecualikan dari ini darah yang hanya sedikit, darah yang berada dalam daging,
urat-urat dan tulang hewan yang telah disembelih, darah ikan, darah atau nanah
yang berasal dari bisul atau luka orang itu sendiri, dari nyamuk, kutu kepala
dan sejenisnya yang darahnya tidak mengalir.[9]
e. Mani
Imamiyah,
Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa mani anak Adam dan lainnya adalah najis.
Syafi’i berpendapat mani anak Adam adalah suci, begitu pula semua binatang selain
anjing dan babi. Hanbali berpendapat mani anak Adam dan mani binatang yang
dagingnya dimakan adalah suci.[10]
f. Kencing
Air
kencing dan kotoran anak Adam adalah najis menurut semua mazhab.[11]
g. Sisa binatang
Syafi’i
semua sisa termasuk kotoran merpati, burung ciak dan ayam hukumnya najis,
kotoran unta, kambing, kuda, bagal, dan lembu semuanya najis. Imamiyah berkata
sisa-sisa burung yang dagingnya dimakan ataupun tidak semuanya suci. Hanafi
berkata sisa-sisa binatang yang tidak terbang seperti unta dan kambing adalah
najis. Hanbali dan Syafi’I berkata sisa-sisa binatang yang dagingnya dimakan
hukumnya suci. Semua mazhab sepakat bahwa sisa binatang yang najis itu adalah
najis.[12]
h. Benda cair yang memabukkan
Menurut
mayoritas ulama najis berdasarkan firman Allah:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsø:$# çÅ£øyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ
yang artinya “hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamer, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah najis termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.”[13]
Akan tetapi Rabi’ (guru Imam Malik) dan Daud al-Dahiri berpendapat bahwa
khamer tidak najis zatnya, meskipun haram untuk diminum.[14]
i. Muntah
Hukumnya
najis menurut empat mazhab dan suci menurut Imamiyah.[15]
j. Madzi dan Wadzi
Keduanya
najis menurut mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanafi, serta suci menurut Mazhab
Imamiyah. Hanbali berpendapat madzi
suci sedangkan wadzi najis. Madzi
adalah cairan yang keluar dari lubang depan ketika ada rangsangan seksual dan
wadzi adalah air amis yang keluar setelah kencing.[16]
3.
Contoh-contoh
Najis dan cara Mensucikannya
a. Najis Mukhafafah
Misalnya
kencing anak laki-laki yang belum memakan makanan lain selain ASI. Mencuci
benda yang kena najis ini cukup dengan memercikkan air pada benda itu, meskipun
tidak mengalir. Ini berdasarkan hadis Nabi yang artinya “(cara membersihkan) air kencing anak perempuan dengan cara membasuh,
sedangkan air kencing anak laki-laki dengan cara memercikkan air diatasnya.”
(HR. Ahmad)[17]
b. Najis Mutawassitah
Najis
ini merupakan najis pertengahan dan dibagi menjadi dua yaitu:
1) Najis ‘ainiyah
Najis
yang tampak ialah bila najis tersebut masih ada wujudnya. Cara mensucikannya
dengan menghilangkan wujud najisnya memakai air suci lagi mensucikan, dengan
indikasi hilang warnanya, baunya dan rasanya.[18]
2) Najis hukmiyah
Najis
yang tidak tampak wujudnya, seperti baju yang terkena kencing dan sudah kering,
maka cara mensucikannya dengan sekali mengalirkan air di atasnya.[19]
c. Najis Mughaladzah
Misalnya
jilatan anjing atau babi, maka cara mensucikannya dengan membasuh tujuh kali,
salah satunya dicampur dengan debu, sesuai dengan sabda Nabi saw yang artinya “apabila anjing menjilati bejana salah
seorang dari kamu, maka buanglah isinya kemudian basuhlah tujuh kali.” (HR.
Muslim). Dan juga hadis Nabi saw artinya “cara
mensucikan bejana kamu yang terkena jilatan anjing adalah dengan cara membasuh
tujuh kali, dan basuhan yang pertama dicampur dengan debu.” (HR. Ahmad dan
Muslim).[20]
4.
Macam-macam
Air
a. Thahir Muthahir (air suci mensucikan)
Air
yang demikian boleh diminum dan sah dipakai untuk mensucikan benda yang lain.
Yaitu, air yang jatuh dari langit atau air yang terbit dari bumi dan masih
tetap (belum berubah) keadaannya, seperti air hujan, air laut, ai sumur, air
salju yang sudah mencair, air embun, dan air yang keluar dari mata air.[21]
Begitu juga air yang masih tetap namanya walaupun berubah karena sesuatu yang
sulit dihindari, seperti tanah, debu, atau sebab yang lain seperti kejatuhan
daun, kayu atau karena mengalir di tempat yang asin atau mengandung belerang,
dan sebagainya.[22]
Menurut
kesepakatan ulama, air muthlaq itu suci mensucikan. Adapun yang diriwayatkan
oleh Abdullah bin Umar bahwa tayamum lebih disukai daripada air laut itu
bertentangan dengan hadis Nabi yang berbunyi “siapa yang tidak dibersihkan oleh air laut, maka Allah tidak
membersihkannya.”[23]
b. Thahir ghairu Muthahir (air suci yang
tidak mensucikan)
Ialah
air bersih dan suci yang telah bercampur dengan suatu zat suci sedemikian rupa
sehingga warnanya atau baunya atau rasanya sudah berubah sehingga tidak dapat
lagi disebut air muthlak. Contohnya air the, air kopi, dan sebagainya. Semua
mazhab sepakat bahwa air seperti ini walaupun suci namun tidak mensucikan.
Kecuali Hanafi yang membolehkan mensucikan najis, wudhu dan mandi wajib (ketika
safar) dengan semua cairan, termasuk air perahan kurma, kecuali minyak.[24]
c. Musta’mal
Ialah
air sedikit yang telah digunakan untuk menghilangkan hadast maupun najis. Ada
yang berpendapat, air musta’mal adalah air sedikit yang telah terpisah dari
basuhan anggota tubuh oang yang berwudhu atau mandi wajib, atau telah terpisah
dari badan, pakaian atau tempat yang terkena najis.[25]
Ulama berbeda pendapat mengenai hokum
air musta’mal.
1) Malik, sebagian kecil ulama mazhab
Syafi’i, Ibn Hazm al-Zahiry, Sufyan al-Tsaury, dan Abu Tsaur berpendapat jika
air itu telah terpisah dari anggota tubuh yang berwudhu atau mandi, maka
hukumnya suci lagi mensucikan seperti air muthlak. Hal itu mengingat asalna
yang suci. Sebagaimana sabda Nabi saw artinya “Maha Suci Allah, orang Mukmin itu tidak najis” (HR. Jamaah).
Mayoritas ulama mazhab Syafi’, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal berpendapat
bahwa air tersebut meski tetap suci namun tidak sah digunakan untuk berwudhu
atau mandi wajib.
2) Apabila air itu terpisah dari badan,
pakaian, atau wadah yang terkena najis maka ulama sepakat air itu hukmnya najis
Karena telah bersentuhan dengan benda najis.[26]
d. Mutannajis (air yang terkena najis)
Menurut
mayoritas ulama mazhab Syafi’i dan Hanbali hokum air yang terkena najis, selama
air itu banyak melebihi dua qullah (lebih dari 200 liter) dan tidak berubah
salah satu dari sifat aslinya yaitu bau, rasa dan warnanya adalah suci lagi
mensucikan. Sedangkan jika air itu hanya sedikit jika tersentuh zat atau benda
najis maka secara otomatis air tersebut dianggap najis walaupun tidak mengalami
perubahan apapun. Dalil mereka adalah hadis Nabi saw artinya “Apabila air mencapai dua qullah, makaia
tidak terpengaruh oleh sesuatu yang najis.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud dan
Ahmad).
Sedangkan
Imam Malik berpendapat sebaliknya, air yang tersentuh najis, air itu banyak
atau sedikit, tetap dinilai suci dan mesucikan selama tidak rusak salah satu
dari ketiga sifat aslinya. Berdasarkan hadis Nabi saw “Air itu pada dasarnya suci. Ia tidak menjadi najis oleh sesuatu
kecuali berubah warna, rasa dan baunya.”
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Najis secara bahas adalah segala sesuatu yang
dianggap kotor, sedangkan menurut istilah syara’ yaitu setiap kotoran yang
menghalangi keabsahan sholat dalam tidak ada rukhshoh (keringanan). Macam-macam
najis yaitu, anjing, babi, bangkai, darah atau nanah, mani, kencing, sisa
binatang, benda cair yang memabukkan, muntah, madzi dan wadzi.
Contoh najis mukhafafah yaitu kencing bayi laki-laki
dan cara mensucikannya adalah cukup dengan memercikkan air ke benda yang
terkena najis tersebut. Dan contoh najis mutawassitah ‘ainiyah adalah najis
yang tampak wujudnya, dan cara mensucikannya adalah membasuhnya dengan air yang
suci lagi mensucikan sampai hilang bau, warna dan zatnya. Dan najis
mutawassitah hukmiyah adalah kencing yang sudah kering, cara mensucikannya
yaitu dengan mengalirkan air sekali diatas benda yang terkena najis. Sedang
contoh najis mughaladzah adalah najis anjing dan cara mensucikannya dengan
membasuhnya tujuh kali.
Macam-macam air yaitu thahir muthahir (air suci
mensucikan), thahir ghairu muthahir (air suci yang tidak mensucikan), musta’mal
dan mutannajis (air yang terkena najis).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta. PENERBIT
LENTERA. 2015.
Qasim Al Ghazy, Asy Syaikh Muhammad
bin. Pedoman Hukum-hukum Islam, tej
Achmad Najied. Surabaya. AL MIFTAH. 2013.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung. PT Sinar
Algasindo Bandung. 2016.
[1] Isnatin Ulfah, Fiqih Ibadah, (Ponorogo: STAIN Po PRESS,
2016), hlm.48.
[2] Asy Syaikh Muhammad
bin Qasim Al Ghazy, Pedoman Hukum-hukum
Islam, terj.Achmad Najied, (Surabaya: AL MIFTAH, 2013), hlm.112.
[3] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: PT.Sinar
Algensindo Bandung, 2016), hlm.16.
[4] Isnatin Ulfah, Fiqih Ibadah, hlm.52.
[5] Ibid., hlm.52.
[6] Muhammad Jawad
Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab,
(Jakarta: PENERBIT LENTERA, 2015), hlm.39.
[7] QS. Al-Maidah ayat 3.
[8] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, hlm.16-17.
[9] Isnatin Ulfah, Fiqih Ibadah, hlm.50.
[10] Muhammad Jawad al
Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, hlm.40.
[11] Ibid., hlm.40.
[12] Ibid., hlm.40-41.
[13] QS. Al-Maidah ayat
90.
[14] Isnatin Ulfah, Fiqih Ibadah, hlm.51.
[15] Muhammad Jawad
Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, hlm.41.
[16] Ibid., hlm.41.
[17] Sulaiman Rasjid, Fiqh
Islam, hlm.21-22.
[18] Isnatin Ulfah, Fiqih
Ibadah, hlm.55.
[19] Ibid., hlm.55.
[20] ibid., hlm.54.
[21] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, hlm.13.
[22] Muhammad Jawal
Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, hlm.32.
[23] Ibid., hlm.32.
[24] Isnain Ulfah, Fiqih Ibadah, hlm.12.
[25] Ibid., hlm.13.
[26] Ibid., hlm.13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar