Kamis, 25 Januari 2018

ZAKAT (2): MUSTAHIQ ZAKAT

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Zakat merupakan sejumlah harta yang wajib dikeluarkan oleh pemeluk agama Islam untuk diberikan kepada golongan yang berhak menerima. Seperti fakir, miskin dan yang lainnya. Zakat termasuk rukun Islam yang ketiga maka dari itu, kita sebagai umat beragama Islam mengeluarkan zakat hukumnya adalah wajib, bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Keutamaan mengeluarkan zakat yaitu untuk mensucikan harta benda dan juga diri seseorang. Dengan mengeluarkan zakat, hartanya tidak akan berkurang atau bahkan habis, melainkan membuat hartanya tumbuh berkembang serta menjadi lebih berkah. Dengan mengeluarkan zakat juga akan membersihkan diri kita dari berbagai dosa.


B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian zakat?
2.      Mustahiq zakat menurut beberapa Ulama?
    




BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengerian Zakat
Menurut bahasa arti zakat ialah bertumbuh. Sedangkan menurut istilah  syara’, zakat adalah sejumlah harta yang dikeluarkan dari jenis harta tertentu dan diberikan kepada orang-orang yang tertentu, dengan syarat-syarat yang telah ditentukan pula.
Zakat termasuk salah satu rukun Islam, diwajibkan pada tahun kedua Hijriyah, atas dasar ayat-ayat Al-Qur’an dan beberapa hadist Nabi SAW.[1]
Firman Allah Swt :
واقيمواالصلاة و اتواالزكاة.
“Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” (An-nisa’ :77).[2]
B.     Mustahiq Zakat menurut beberapa madzab
Para Ulama mazhab sependapat bahwa golongan yang berhak menerima zakat itu ada delapan.  Dan semuanya telah disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 60[3], seperti berikut:
            “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.”[4]

Namun, kalau tentang definisi golongan atau kelompok tersebut, semua Ulama mazhad mempunyai pendapat yang berbeda, seperti keterangan berikut[5]:
1.      Fakir
                        Fakir dalam bab zakat adalah orang yang tidak mempunyai harta benda dan tidak mempunyai pekerjaan yang mencukupi kebutuhannya.[6] Walaupun misalnya, ia memiliki rumah tempat tinggal, pakaian yang pantas bagi dirinya, ia tetap dianggap fakir selama sebagian besar kebutuhan hidup yang diperlukannya tidak terpenuhi olehnya.[7]
                        Menurut Mazhad Hanafi fakir adalah orang yang mempunyai harta kurang dari satu nisab, atau mempunyai satu nisab atau lebih, tetapi habis untuk keperluannya.[8]
                        Menurut Mazhab Syafi’i dan Hambali, Orang yang mempunyai separuh dari kebutuhannya, ia tidak bisa digolongkan ke dalam golongan orang fakir, dan ia tidak boleh menerima zakat.[9]
                        Menurut Mazhab Maliki fakir adalah orang yang mempunyai harta, sedangkan hartanya tidak mencukupi untuk keperluannya dalam masa satu tahun. Orang yang mencukupi dari penghasilannya tidak diberi zakat, sedangkan orang yang punya penghasilan tidak mencukupi, diberi sekedar untuk mencukupi.[10]           





2.      Miskin
        Miskin ialah orang yang memiliki harta benda atau pekerjaan yang kurang mencukupi kebutuhannya.[11] Kebutuhan yang dimaksud adalah makanan, minuman, pakaian, dan lain-lain. Jika seorang pedagang misalnya memiliki modal berjumlah senisab atau lebih, tetapi keuntungan yang dihasilkannya tidak dapat mencukupi kebutuhannya, ia dianggap miskin. Orang tersebut wajib mengeluarkan zakat hartanya karena telah mencapai senisab, tetapi ia juga boleh menerima zakat sebagai orang miskin.[12]
       Menurut Hanafi dan Maliki, orang miskin adalah orang yang tidak mempunyai sesuatu pun.
       Menurut Mazhab Hambali dan Syafi’i, miskin adalah orang yang mempunyai harta seperdua keperluannya atau lebih tetapi tidak mencukupi.
        Yang dimaksud dengan kecukupan ialah cukup menurut umur biasa, 62 tuhan. Maka yang mencukupi dalam masa tersebut dinamakan “kaya”, tidak boleh diberi zakat, ini dinamakan dengan kaya harta. Adapun kaya dengan usaha, seperti orang yang mempunyai penghasilan setiap hari atau setiap bulan.[13]

3.      Amil
            Amil adalah orang-orang yang khusus ditugaskan oleh imam untuk mengurusi zakat. Seperti petugas yang mengutip (Sa’i), mencatat (Katib) harta yang terkumpul, membagi- bagi (Qasim), dan lain-lain.[14]
Menurut Mazhab Hanahi Amil adalah orang yang diangkat untuk mengambil dan mengurus zakat.
            Menurut Mazhab Maliki ‘amil adalah pengurus zakat, pencatat, pembagi, penasihat, dan sebagainya yang bekerja untuk kepentingan zakat. Syarat menjadi ‘amil yaitu adil dan mengetahui segala hukum yang bersangkutan dengan zakat.
          Menurut Mazhab Hambali ‘amil adalah pengurus zakat, dia diberi zakat sekadar upah pekerjaannya .
          Menurut Mazhab Syafi’i ‘amil adalah semua orang yang mengurus zakat, sedangkan dia tidak mendapat upah selain dari dari zakat itu.[15]
        Amil dapat menerima bagian dari zakat, hanya sebesar upah yang pantas untuk pekerjaannya. Bila bagian amil ternyata lebih besar dari jumlah upahnya, maka sisanya dialihkan kepada mustahiq yang lainnya, sedangkan bila jumlah bagian amil itu kurang dari upahnya, imam harus memenuhi upah mereka.

4.      Mu’allaf
            Muallaf  menurut bahasa Al-Mu’allafah Qulubuhum berarti orang yang hatinya dijinakkan atau dibujuk. Mu’allaf itu ada yang kafir dan ada yang muslim.
            Orang kafir dapat dianggap sebagai muallaf dengan dua macam alasan, yaitu mengharapkan kebaikan atau menghindarkan keburukannya[16]. Sedangkan muallaf yang muslim itu ada empat macam:
a.  Orang yang baru masuk Islam, namun imannya belum teguh.
b. Orang Islam yang berpengaruh dalam kaumnya, dan kita berpengharapan kalau dia diberi zakat, maka orang lain dari kaumnya akan masuk Islam.
c.  Orang Islam yang berpengaruh terhadap kafir. Kalau dia diberi zakat , kita akan terpelihara dari kejahatan kafir  yang  di bawah pengaruhnya.
d. Orang yang menolak kejahatan dari orang yang anti zakat.[17]
               Para Ulama Mazhab berbeda pendapat tentang hukum itu, apakah masih tetap berlaku atau sudah dihapus.
                    Menurut Hanafi hukum itu berlaku pada permulaan penyebaran Islam, karena lemahnya kaum muslimin. Kalau dalam situasi saat ini dimana Islam sudah kuat, maka hilanglah hukumnya karena sebab-sebabnya sudah tidak kuat..

5.      Riqab
          Maksud al-riqab di sini adalah para budak yang mukatab, yang dijanjikan akan merdeka bila membayar sejumlah harta kepada tuannya. Budak yang telah mengikat perjanjian kitabah secara sah dengan tuannya tetapi tidak mampu membayarnya, dapat diberikan bagian dari zakat untuk membantu mereka memerdekakan dirinya. [18]
          Menurut Mazhab Hanafi riqab adalah hamba yang telah dijanjikan oleh tuannya bahwa dia boleh menebus dirinya dengan uang atau dengan harta yang lainnya.
          Menurut Mazhab Maliki riqab adalah hamba muslim yang dibeli dengan uang zakat dan dimerdekakan.
          Menurut Mazhab Syafi’i riqab adalah hamba (budak) yang dijanjikan oleh tuannya bahwa dia boleh menebus dirinya.
          Menurut Mazhab Hambali riqab adalah hamba yang dijanjikan oleh tuannya bahwa dia boleh menebus dirinya denga uang yang telah ditentukan oleh tuannya.






Sabda Nabi :
اخبرنا محمد بن عبد ا لله بن يزيد عن ابيه قال حدثنا عبد ا لله المبا رك عن محمد بن عجلان عن سعيد المقبري عن ابي هريرة عن النبي صلي ا لله عليه و سلم قال ثلا ثة كلهم حق علي ا لله عز و حل عو نه المجا هد في سبيل ا لله و ا لنا كح الذي يريد العفا ف والمكاتب الذي يريد الاداء (رواه النسا ئي)
Artinya : Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Yazid, dari ayahnya, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Al-Mubarak, dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari Sa’id Al Maqburi, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, beliau bersabda : “Tiga golongan yang semuanya merupakan hak atas Allah ‘azza wajalla untuk menolongnya, yaitu orang yang berjihaddi jalan Allah, orang yang menikah menginginkan kesucian diri, dan hamba sahaya (budak) yang mengadakan perjanjian pembebasan dirinya yang ingin menunaikan kewajibannya.” (HR.Nasai)[19]

                              
6.      Al-Gharimun
             Gharim adalah orang yang berhutang[20]. Menurut Mazhab Syafi’i orang berhutang ada tiga macam yaitu:
a.       Orang yang berhutang untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri. Bila hutangnya itu tidak untuk maksiat, dan ia tidak mampu membayarnya, ia dapat diberi zakat, untuk dapat membayar hutang tersebut.
b.      Orang yang berhutang karena kepentingan mendamaikan perselisihan. Misalnya dalam hal ada dua pihak yang berselisih mengenai kasus pembunuhan yang tidak jelas siapa pelakunya, seseorang bertindak mengambil alih tanggung jawab untuk membayar diyatnya, tetapi untuk itu ia harus berhutang. Orang tersebut dapat diberi bagian zakat untuk membayar hutangnya itu, sekalipun ia mampu membayarnya.
c.       Orang yang berhutang karena ia menjamin hutang orang lain.
            Menurut Mazhab Hanafi Berutang adalah orang yang mempunyai utang, sedangkan jumlah hartanya di luar utang tidak cukup satu nisab. Dia diberi zakat untuk membayar hutangnya.
            Menurut Mazhab Maliki Berutang adalah orang yang berutang, sedangkan hartanya tidak mencukupi untuk membayar utangnya, utangnya dibayar dari zakat kalau dia berutang bukan untuk sesuatu yang fasad (jahat).
            Menurut Mazhab Hambali Berutang ada dua macam yaitu orang yang berutang untuk mendamaikan orang yang berselisih dan orang yang berutang untuk dirinya sendiri pada pekerjaan yang mubah atau haram, tetapi orang itu sudah tobat. Maka ia diberi zakat sekadar utangnya.[21]
            Bagian zakat hanya dapat diberikan kepada orang yang benar-benar masih berhutang. Jadi, bila hutang itu telah dibayar dengan hartanya, ia tidak dibenarkan lagi menerima zakat sebagai orang berhutang. Demikian pula, kalau kebutuhan itu, misalnya, diselesaikan dengan hartanya sendiri, ia tidak dapat menerma zakat sebab ia tidak berhutang.[22]






Sabda Nabi SAW :
حد ثنا قتيبه بن سعيد حدثنا ليث عن بكير عن عياض بن عبدا لله عن ابي سعيد الخذري قال اصيب رجل في عهد رسول الله صلي الله عليه وسلم في ثمار ابتا عها فكثردينه فقال رسول ا لله صلي الله عليه وسلم تصدقو عليه فتصدق النا س عليه فلم يبلغ ذلك وفا ء ذينه فقال رسول  الله صلي الله عليه و سلم لغرمائه خذوا ما وجدتم و ليس لكم الا ذ لك (رواه مسلم)
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id, telah menceritakan kepada kami Laits, dari Bukair, dari ‘Iyadl bin ‘Abdullah, dari Abu Sa’id Al Khudri dia berkata : “Seorang laki-laki mendapat musibah pada masa Rasulullah saw terkait dengan buah yang telah dibelinya, sehingga hutangnya menjadi banyak, maka Rasulullah saw, bersabda : “Bersedekahlah kepadanya.” Lantas orang-orang bersedekah kepadanya, akan tetapi (harta sedekah itu) belum mencapai jumlah untuk melunasi hutangnya, maka Rasulullah saw pun bersabda kepada orang yang dihitunginya:”Ambillah apa yang kamu dapatkan dan tidak ada cara lain bagimu selain cara tersebut.” (HR.Muslim)[23]


7.      Ibn al-Sabil
            Yaitu orang yang sedang, atau akan melakukan perjalanan (musafir)[24] ke negara lain dan sudah tidak punya harta lagi.[25]
Orang musafir itu dapat diberi bagian dari zakat, dengan syarat :
a.      Perjalanannya itu tidak ditujukan untuk kemaksiatan. Para Ulama sepakat bahwa orang yag melakukan perjalanan untuk ketaatan berhak mendapat zakat. Menurut pendapat yang sahih, orang yang  melakukan perjalanan untuk tujuan yang mubah pun dapat dapat diberikan bagian zakat, sabagaimana ia berhak mendapat rukhshah seperti berbuka puasa dan mengqashar shalat.
b.      Ia kehabisan bekal, tidak mempunyai, atau kekurangan biaya untuk perjalanannya sekalipun ia memiliki harta ditempat lain.[26]
            Menurut Mazhab Hanafi ibnu sabil adalah orang yang sedang dalam perjalanan, yang putus perhubungan dengan hartanya.
            Menurut Mazhab Maliki ibnu sabil adalah orang yang sedang dalam perjalanan, sedang ia butuh untuk ongkos pulang untuk pulang kenegerinya. Dengan syarat perjalanannya bukan untuk maksiat.
            Menurut Mazhab Syafi’i ibnu sabil adalah orang yang mengadakan perjalanan yang bukan maksiat tetapi dengan tujuan yang sah.
            Menurut Mazhab Hambali ibnu sabil adalah orang yang keputusan belanja dalam perjalanan yang halal.[27]
         Banyaknya bagian zakat yang diberikan kepada musafir itu disesuaikan dengan jumlah yang diperlukan dalam perjalanan untuk sampai ke tempat tujuan atau ke tempat hartanya.[28]


8.      Fi Sabilillah
         Fi sabilillah menurut Empat Mazhab adalah orang-orang yang berperang secara suka rela untuk membela Islam.
         Menurut Imamiyah ialah orang-orang yang berada di jalan Allah secara umum, baik orang yang berperang, orang-orang yang mengurus masjid-masjid, orang-orang yang berdinas di rumah sakit dan sekolah-sekolah, dan semua bentuk kegiatan kemaslahatan umum.[29]
         Para pejuang seperti ini berhak mendapat bagiannya dari zakat, sekalipun mereka kaya. Besarnya jumlah yang dapat diberikan kepada mereka disesuakan dengan biaya perjalanan, pengadaan perlengkapan persenjataan, dan alat-alat pengangkutan yang dibutuhkannya. Jika setelah menerima zakat itu ternyata ia tidak jadi melakukan jihad, maka harta yang telah diambilnya itu wajib dikembalikannya.
         Menurut sebagian Ulama, orang-orang yang melakukan ibadah haji dan umrah juga dibenarkan menerima zakat atas nama fi sabil allah. Imam Malik dan Abu Hanifah membatasinya pada tempat-tempat berjihad dan ribath. Sedangkan Imam Al-Syafi’i mengatakan bahwa bagian fi sabil allah itu hanya diberikan kepada orang yang berperang seperti yang dijelaskan di atas.[30]

           
             



                              
    






BAB III
PENUTUP


Kesimpulan

Para Ulama Mazhab sependapat bahwa golongan yang berhak menerima zakat itu ada delapan, yaitu:

1.      Fakir : orang yang tidak mempunyai harta benda dan tidak mempunyai pekerjaan yang mencukupi kebutuhannya.
2.      Miskin : orang yang memiliki harta benda atau pekerjaan yang kurang mencukupi kebutuhannya.
3.      Amil : orang-orang yang khusus ditugaskan oleh imam untuk mengurusi zakat.
4.      Muallaf  : orang yang hatinya dijinakkan atau dibujuk.
5.      al-riqab : para budak yang mukatab, yang dijanjikan akan merdeka bila membayar sejumlah harta kepada tuannya.
6.      Gharim : orang yang berhutang
7.      Ibn al-Sabil : orang yang sedang, atau akan melakukan perjalanan (musafir)  ke negara lain dan sudah tidak punya harta lagi.
8.      Fi sabilillah : orang-orang yang berperang secara suka rela untuk membela Islam.








DAFTAR PUSTAKA

Ulfa,Isnatin. Fiqih Ibadah. Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2016.
Rasjid,Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensido, 2016.
Mughniyah,Muhammad Jawad. FIQH lima Mazhab.  Jakarta: LENTERA, SHAF, 2015.
Anas,Moh. Fiqh Ibadah. Jawa Timur: Lembaga Ta’lif Wannasyr, 2008.
Muhammad,Asy Syaikh bin Qasim Al Ghazy. Pedoman Hukum-Hukum Islam. Surabaya: AL-MIFTAH, 2013.








































[1] Isnatin Ulfah, Fiqih Ibadah ( Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2016 ), hlm. 105.
[2] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam ( Bandung: Sinar Baru Algensido, 2016 ), hlm.192.
[3] Muhammad Jawad Mughniyah, FIQH lima Mazhab ( Jakarta: LENTERA, SHAF, 2015 ),             hlm .216.
[4] Moh.Anas, Fiqh Ibadah ( Jawa Timur: Lembaga Ta’lif Wannasyr, 2008 ), hlm.243.
[5] Ibid
[6] Asy Syaikh Muhammad bin Qasim Al Ghazy, Pedoman Hukum-Hukum Islam ( Surabaya: AL-MIFTAH, 2013 ), hln.327.
[7] Isnatin Ulfah, Fiqih Ibadah ( Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2016 ), hlm.143.
[8] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam ( Bandung: Sinar Baru Algensido, 2016 ), hlm.211.
[9] Muhammad Jawad Mughniyah, FIQH lima Mazhab ( Jakarta: LENTERA, SHAF, 2015 ),             hlm .217.
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Isnatin Ulfah, Fiqih Ibadah ( Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2016 ), hlm.144.
[13] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam ( Bandung: Sinar Baru Algensido, 2016 ), hlm.212-213.
[14] Ibid 145
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam ( Bandung: Sinar Baru Algensido, 2016 ), hlm.213.
[18] Ibid 147.
[19] Asy Syaikh Muhammad bin Qasim Al
[20] Asy Syaikh Muhammad bin Qasim Al Ghazy, Pedoman Hukum-Hukum Islam ( Surabaya: AL-MIFTAH, 2013 ), hln.328.
[21] Ibid
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Isnatin Ulfah, Fiqih Ibadah ( Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2016 ), hlm.148.
[25] Muhammad Jawad Mughniyah, FIQH lima Mazhab ( Jakarta: LENTERA, SHAF, 2015 ),             hlm .220.

[26] Isnatin Ulfah, Fiqih Ibadah ( Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2016 ), hlm.148-149.
[28] Ibid
[29] Ibid

[30] Isnatin Ulfah, Fiqih Ibadah ( Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2016 ), hlm.149-150.


Tidak ada komentar:

Entri yang Diunggulkan

KAMMI IAIN Ponorogo gelar penggalangan dana

Organisasi KAMMI gelar penggalangan dana untuk membantu korban Gempa di Lombok Kader KAMMI Daerah Ponorogo menggalang dana untuk membantu...