BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Zakat
merupakan sejumlah harta yang wajib dikeluarkan oleh pemeluk agama Islam untuk
diberikan kepada golongan yang berhak menerima. Seperti fakir, miskin dan yang
lainnya. Zakat termasuk rukun Islam yang ketiga maka dari itu, kita sebagai
umat beragama Islam mengeluarkan zakat hukumnya adalah wajib, bagi setiap
muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Keutamaan
mengeluarkan zakat yaitu untuk mensucikan harta benda dan juga diri seseorang. Dengan
mengeluarkan zakat, hartanya tidak akan berkurang atau bahkan habis, melainkan membuat
hartanya tumbuh berkembang serta menjadi lebih berkah. Dengan mengeluarkan
zakat juga akan membersihkan diri kita dari berbagai dosa.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian
zakat?
2. Mustahiq zakat menurut beberapa Ulama?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengerian
Zakat
Menurut bahasa arti zakat ialah
bertumbuh. Sedangkan menurut istilah
syara’, zakat adalah sejumlah harta yang dikeluarkan dari jenis harta
tertentu dan diberikan kepada orang-orang yang tertentu, dengan syarat-syarat
yang telah ditentukan pula.
Zakat termasuk salah satu rukun Islam, diwajibkan
pada tahun kedua Hijriyah, atas dasar ayat-ayat Al-Qur’an dan beberapa hadist
Nabi SAW.[1]
Firman Allah Swt :
واقيمواالصلاة
و اتواالزكاة.
“Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” (An-nisa’ :77).[2]
B. Mustahiq Zakat menurut beberapa madzab
Para
Ulama mazhab sependapat bahwa golongan yang berhak menerima zakat itu ada
delapan. Dan semuanya telah disebutkan
dalam surat At-Taubah ayat 60[3],
seperti berikut:
“Sesungguhnya
zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus
zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya untuk memerdekakan budak, orang-orang
yang berhutang untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.”[4]
Namun,
kalau tentang definisi golongan atau kelompok tersebut, semua Ulama mazhad mempunyai
pendapat yang berbeda, seperti keterangan berikut[5]:
1. Fakir
Fakir dalam bab zakat
adalah orang yang tidak mempunyai harta benda dan tidak mempunyai pekerjaan
yang mencukupi kebutuhannya.[6]
Walaupun misalnya, ia memiliki rumah tempat tinggal, pakaian yang pantas bagi
dirinya, ia tetap dianggap fakir selama sebagian besar kebutuhan hidup yang
diperlukannya tidak terpenuhi olehnya.[7]
Menurut Mazhad Hanafi fakir adalah orang yang
mempunyai harta kurang dari satu nisab, atau mempunyai satu nisab atau lebih,
tetapi habis untuk keperluannya.[8]
Menurut Mazhab Syafi’i dan Hambali, Orang yang mempunyai separuh dari
kebutuhannya, ia tidak bisa digolongkan ke dalam golongan orang fakir, dan ia
tidak boleh menerima zakat.[9]
Menurut Mazhab Maliki fakir adalah orang yang
mempunyai harta, sedangkan hartanya tidak mencukupi untuk keperluannya dalam
masa satu tahun. Orang yang mencukupi dari penghasilannya tidak diberi zakat,
sedangkan orang yang punya penghasilan tidak mencukupi, diberi sekedar untuk
mencukupi.[10]
2.
Miskin
Miskin
ialah orang yang memiliki harta benda atau pekerjaan yang kurang mencukupi
kebutuhannya.[11] Kebutuhan yang dimaksud
adalah makanan, minuman, pakaian, dan lain-lain. Jika seorang pedagang misalnya
memiliki modal berjumlah senisab atau lebih, tetapi keuntungan yang
dihasilkannya tidak dapat mencukupi kebutuhannya, ia dianggap miskin. Orang
tersebut wajib mengeluarkan zakat hartanya karena telah mencapai senisab,
tetapi ia juga boleh menerima zakat sebagai orang miskin.[12]
Menurut Hanafi dan Maliki,
orang miskin adalah orang
yang tidak mempunyai sesuatu pun.
Menurut Mazhab Hambali dan
Syafi’i, miskin adalah orang
yang mempunyai harta seperdua keperluannya atau lebih tetapi tidak mencukupi.
Yang dimaksud dengan kecukupan ialah cukup
menurut umur biasa, 62 tuhan. Maka yang mencukupi dalam masa tersebut dinamakan
“kaya”, tidak boleh diberi zakat, ini dinamakan dengan kaya harta. Adapun kaya
dengan usaha, seperti orang yang mempunyai penghasilan setiap hari atau setiap
bulan.[13]
3.
Amil
Amil adalah orang-orang yang khusus ditugaskan oleh imam untuk mengurusi
zakat. Seperti petugas yang mengutip (Sa’i), mencatat (Katib) harta yang
terkumpul, membagi- bagi (Qasim), dan lain-lain.[14]
Menurut Mazhab
Hanahi Amil adalah orang
yang diangkat untuk mengambil dan mengurus zakat.
Menurut
Mazhab Maliki ‘amil adalah pengurus zakat, pencatat, pembagi,
penasihat, dan sebagainya yang bekerja untuk kepentingan zakat. Syarat menjadi
‘amil yaitu adil dan mengetahui segala hukum yang bersangkutan dengan zakat.
Menurut
Mazhab Hambali ‘amil adalah pengurus zakat, dia diberi zakat
sekadar upah pekerjaannya .
Menurut
Mazhab Syafi’i ‘amil adalah semua orang yang mengurus zakat,
sedangkan dia tidak mendapat upah selain dari dari zakat itu.[15]
Amil
dapat menerima bagian dari zakat, hanya sebesar upah yang pantas untuk
pekerjaannya. Bila bagian amil ternyata lebih besar dari jumlah upahnya, maka
sisanya dialihkan kepada mustahiq yang lainnya, sedangkan bila jumlah bagian
amil itu kurang dari upahnya, imam harus memenuhi upah mereka.
4.
Mu’allaf
Muallaf menurut bahasa Al-Mu’allafah Qulubuhum
berarti orang yang hatinya dijinakkan atau dibujuk. Mu’allaf itu ada yang kafir
dan ada yang muslim.
Orang
kafir dapat dianggap sebagai muallaf dengan dua macam alasan, yaitu
mengharapkan kebaikan atau menghindarkan keburukannya[16].
Sedangkan muallaf yang muslim itu ada empat macam:
a. Orang yang baru
masuk Islam, namun imannya belum teguh.
b. Orang Islam
yang berpengaruh dalam kaumnya, dan kita berpengharapan kalau dia diberi zakat,
maka orang lain dari kaumnya akan masuk Islam.
c. Orang Islam
yang berpengaruh terhadap kafir. Kalau dia diberi zakat , kita akan terpelihara dari kejahatan kafir
yang di bawah pengaruhnya.
d. Orang yang
menolak kejahatan dari orang yang anti zakat.[17]
Para
Ulama Mazhab berbeda pendapat tentang hukum itu, apakah masih tetap berlaku atau
sudah dihapus.
Menurut Hanafi hukum itu berlaku pada permulaan penyebaran Islam,
karena lemahnya kaum muslimin. Kalau dalam situasi saat ini dimana Islam sudah
kuat, maka hilanglah hukumnya karena sebab-sebabnya sudah tidak kuat..
5.
Riqab
Maksud al-riqab di
sini adalah para budak yang mukatab, yang dijanjikan akan merdeka bila
membayar sejumlah harta kepada tuannya. Budak yang telah mengikat perjanjian
kitabah secara sah dengan tuannya tetapi tidak mampu membayarnya, dapat
diberikan bagian dari zakat untuk membantu mereka memerdekakan dirinya. [18]
Menurut Mazhab Hanafi riqab adalah hamba yang telah dijanjikan oleh
tuannya bahwa dia boleh menebus dirinya dengan uang atau dengan harta yang
lainnya.
Menurut Mazhab Maliki riqab adalah hamba muslim yang dibeli dengan uang
zakat dan dimerdekakan.
Menurut Mazhab Syafi’i riqab adalah hamba (budak) yang dijanjikan oleh
tuannya bahwa dia boleh menebus dirinya.
Menurut Mazhab Hambali riqab adalah hamba yang dijanjikan oleh tuannya
bahwa dia boleh menebus dirinya denga uang yang telah ditentukan oleh tuannya.
Sabda Nabi :
اخبرنا محمد بن عبد ا لله بن يزيد عن ابيه قال حدثنا
عبد ا لله المبا رك عن محمد بن عجلان عن سعيد المقبري عن ابي هريرة عن النبي صلي ا
لله عليه و سلم قال ثلا ثة كلهم حق علي ا لله عز و حل عو نه المجا هد في سبيل ا
لله و ا لنا كح الذي يريد العفا ف والمكاتب الذي يريد الاداء (رواه النسا ئي)
Artinya : Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Yazid,
dari ayahnya, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin
Al-Mubarak, dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari Sa’id Al Maqburi, dari Abu Hurairah,
dari Nabi saw, beliau bersabda : “Tiga golongan yang semuanya merupakan hak
atas Allah ‘azza wajalla untuk menolongnya, yaitu orang yang berjihaddi jalan
Allah, orang yang menikah menginginkan kesucian diri, dan hamba sahaya (budak)
yang mengadakan perjanjian pembebasan dirinya yang ingin menunaikan
kewajibannya.” (HR.Nasai)[19]
6.
Al-Gharimun
Gharim adalah orang yang berhutang[20].
Menurut Mazhab
Syafi’i orang
berhutang ada tiga macam yaitu:
a.
Orang yang berhutang untuk memenuhi kepentingan
dirinya sendiri. Bila hutangnya itu tidak untuk maksiat, dan ia tidak mampu
membayarnya, ia dapat diberi zakat, untuk dapat membayar hutang tersebut.
b.
Orang yang berhutang karena kepentingan mendamaikan
perselisihan. Misalnya dalam hal ada dua pihak yang berselisih mengenai kasus
pembunuhan yang tidak jelas siapa pelakunya, seseorang bertindak mengambil alih
tanggung jawab untuk membayar diyatnya, tetapi untuk itu ia harus berhutang.
Orang tersebut dapat diberi bagian zakat untuk membayar hutangnya itu,
sekalipun ia mampu membayarnya.
c.
Orang yang berhutang karena ia menjamin hutang orang
lain.
Menurut
Mazhab Hanafi Berutang adalah orang yang mempunyai utang,
sedangkan jumlah hartanya di luar utang tidak cukup satu nisab. Dia diberi
zakat untuk membayar hutangnya.
Menurut
Mazhab Maliki Berutang adalah orang yang berutang, sedangkan
hartanya tidak mencukupi untuk membayar utangnya, utangnya dibayar dari zakat
kalau dia berutang bukan untuk sesuatu yang fasad (jahat).
Menurut
Mazhab Hambali Berutang ada dua macam yaitu orang yang berutang
untuk mendamaikan orang yang berselisih dan orang yang berutang untuk dirinya
sendiri pada pekerjaan yang mubah atau haram, tetapi orang itu sudah tobat.
Maka ia diberi zakat sekadar utangnya.[21]
Bagian
zakat hanya dapat diberikan kepada orang yang benar-benar masih berhutang.
Jadi, bila hutang itu telah dibayar dengan hartanya, ia tidak dibenarkan lagi
menerima zakat sebagai orang berhutang. Demikian pula, kalau kebutuhan itu,
misalnya, diselesaikan dengan hartanya sendiri, ia tidak dapat menerma zakat
sebab ia tidak berhutang.[22]
Sabda Nabi SAW :
حد ثنا قتيبه بن سعيد حدثنا ليث عن بكير عن عياض بن عبدا لله عن ابي
سعيد الخذري قال اصيب رجل في عهد رسول الله صلي الله عليه وسلم في ثمار
ابتا عها فكثردينه فقال رسول ا لله صلي الله عليه وسلم تصدقو عليه فتصدق النا س
عليه فلم يبلغ ذلك وفا ء ذينه فقال رسول
الله صلي الله عليه و سلم لغرمائه خذوا ما وجدتم و ليس لكم الا ذ لك (رواه
مسلم)
Artinya : Telah menceritakan kepada kami
Qutaibah bin Sa’id, telah menceritakan kepada kami Laits, dari Bukair, dari
‘Iyadl bin ‘Abdullah, dari Abu Sa’id Al Khudri dia berkata : “Seorang laki-laki
mendapat musibah pada masa Rasulullah saw terkait dengan buah yang telah
dibelinya, sehingga hutangnya menjadi banyak, maka Rasulullah saw, bersabda :
“Bersedekahlah kepadanya.” Lantas orang-orang bersedekah kepadanya, akan tetapi
(harta sedekah itu) belum mencapai jumlah untuk melunasi hutangnya, maka
Rasulullah saw pun bersabda kepada orang yang dihitunginya:”Ambillah apa yang
kamu dapatkan dan tidak ada cara lain bagimu selain cara tersebut.” (HR.Muslim)[23]
7.
Ibn al-Sabil
Yaitu orang yang sedang, atau akan melakukan perjalanan (musafir)[24]
ke negara lain dan sudah tidak punya harta lagi.[25]
Orang musafir itu dapat diberi bagian dari zakat,
dengan syarat :
a. Perjalanannya
itu tidak ditujukan untuk kemaksiatan. Para Ulama sepakat bahwa orang yag
melakukan perjalanan untuk ketaatan berhak mendapat zakat. Menurut pendapat
yang sahih, orang yang melakukan
perjalanan untuk tujuan yang mubah pun dapat dapat diberikan bagian zakat,
sabagaimana ia berhak mendapat rukhshah seperti berbuka puasa dan mengqashar
shalat.
b. Ia kehabisan
bekal, tidak mempunyai, atau kekurangan biaya untuk perjalanannya sekalipun ia
memiliki harta ditempat lain.[26]
Menurut Mazhab Hanafi ibnu sabil adalah orang yang sedang dalam
perjalanan, yang putus perhubungan dengan hartanya.
Menurut Mazhab Maliki ibnu sabil adalah orang yang sedang dalam
perjalanan, sedang ia butuh untuk ongkos pulang untuk pulang kenegerinya.
Dengan syarat perjalanannya bukan untuk maksiat.
Menurut Mazhab Syafi’i ibnu sabil adalah orang yang mengadakan perjalanan
yang bukan maksiat tetapi dengan tujuan yang sah.
Menurut Mazhab Hambali ibnu sabil adalah orang yang keputusan belanja dalam
perjalanan yang halal.[27]
Banyaknya
bagian zakat yang diberikan kepada musafir itu disesuaikan dengan jumlah yang
diperlukan dalam perjalanan untuk sampai ke tempat tujuan atau ke tempat
hartanya.[28]
8. Fi
Sabilillah
Fi sabilillah menurut Empat Mazhab adalah orang-orang yang berperang secara suka rela
untuk membela Islam.
Menurut
Imamiyah ialah orang-orang yang berada di jalan Allah secara
umum, baik orang yang berperang, orang-orang yang mengurus masjid-masjid,
orang-orang yang berdinas di rumah sakit dan sekolah-sekolah, dan semua bentuk
kegiatan kemaslahatan umum.[29]
Para
pejuang seperti ini berhak mendapat bagiannya dari zakat, sekalipun mereka kaya.
Besarnya jumlah yang dapat diberikan kepada mereka disesuakan dengan biaya
perjalanan, pengadaan perlengkapan persenjataan, dan alat-alat pengangkutan
yang dibutuhkannya. Jika setelah menerima zakat itu ternyata ia tidak jadi
melakukan jihad, maka harta yang telah diambilnya itu wajib dikembalikannya.
Menurut
sebagian Ulama, orang-orang yang melakukan ibadah haji dan umrah juga
dibenarkan menerima zakat atas nama fi sabil allah. Imam Malik dan Abu Hanifah
membatasinya pada tempat-tempat berjihad dan ribath. Sedangkan Imam Al-Syafi’i
mengatakan bahwa bagian fi sabil allah itu hanya diberikan kepada orang yang
berperang seperti yang dijelaskan di atas.[30]
PENUTUP
Kesimpulan
Para Ulama Mazhab
sependapat bahwa golongan yang berhak menerima zakat itu ada delapan, yaitu:
1.
Fakir : orang yang tidak mempunyai harta benda dan tidak mempunyai
pekerjaan yang mencukupi kebutuhannya.
2.
Miskin : orang yang
memiliki harta benda atau pekerjaan yang kurang mencukupi kebutuhannya.
3.
Amil : orang-orang yang khusus ditugaskan
oleh imam untuk mengurusi zakat.
4.
Muallaf
: orang yang hatinya dijinakkan atau dibujuk.
5.
al-riqab : para budak yang mukatab,
yang dijanjikan akan merdeka bila membayar sejumlah harta kepada tuannya.
6.
Gharim : orang yang berhutang
7. Ibn al-Sabil :
orang yang sedang, atau akan melakukan perjalanan (musafir) ke negara lain dan sudah tidak punya harta
lagi.
8. Fi sabilillah
: orang-orang yang berperang secara suka rela untuk membela Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Ulfa,Isnatin.
Fiqih Ibadah. Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2016.
Rasjid,Sulaiman. Fiqh
Islam. Bandung: Sinar Baru Algensido, 2016.
Mughniyah,Muhammad Jawad. FIQH lima Mazhab. Jakarta:
LENTERA, SHAF, 2015.
Anas,Moh. Fiqh Ibadah. Jawa Timur: Lembaga Ta’lif Wannasyr, 2008.
Muhammad,Asy Syaikh bin Qasim Al Ghazy. Pedoman Hukum-Hukum Islam. Surabaya:
AL-MIFTAH, 2013.
Http://akuneng.wordpress.com/2014/02/03/mustahiq-zakat-menurut-4-madzhab/ diakses pada 1 januari 2018 pada pukul 08:14
[6] Asy
Syaikh Muhammad bin Qasim Al Ghazy, Pedoman
Hukum-Hukum Islam ( Surabaya: AL-MIFTAH, 2013 ), hln.327.
[7] Isnatin Ulfah, Fiqih Ibadah ( Ponorogo: STAIN Po
PRESS, 2016 ), hlm.143.
[19] Http://akuneng.wordpress.com/2014/02/03/mustahiq-zakat-menurut-4-madzhab/ diakses pada 1
januari 2018 pada pukul 08:14
[19] Asy Syaikh
Muhammad bin Qasim Al
[20] Asy Syaikh Muhammad bin Qasim Al Ghazy, Pedoman Hukum-Hukum Islam ( Surabaya: AL-MIFTAH, 2013 ), hln.328.
[27] Http://akuneng.wordpress.com/2014/02/03/mustahiq-zakat-menurut-4-madzhab/ diakses pada 1
januari 2018 pada pukul 08:14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar